S
antri secara etimologis (ta’rif lughawi) adalah seorang pelajar yang sedang menimba ilmu di pesantren. Karena itu seseorang yang sudah berhenti mondok, tidak lagi disebut santri.Namun, dalam artian yang lebih luas, terutama dalam konteks sosiologis (ta’rif istilahi), santri bermakna “setiap orang Islam yang relatif taat dalam menjalankan ajaran Islam” baik ia alumnus pesantren atau bukan. Dengan demikian ia merupakan kebalikan dari muslim abangan, sebuah istilah bagi seorang muslim yang tidak taat.[1]
Dari kedua ta’rif santri secara lughawi maupun secara istilahi di atas dapat dipahami jika keduanya mengacu pada satu pemahaman : bahwa seorang santri adalah seorang muslim yang dalam perilaku kesehariannya akan selalu berusaha menjadi representasi atau mewakili ajaran Islam ideal (QS Al Baqarah 2:207).
Apa ajaran Islam ideal itu? Setidaknya ada lima unsur pokok perilaku yang harus dilakukan seorang santri dalam perannya sebagai individu yang mewakili Islam.
Pertama, level personal. Memelihara diri sendiri dan keluarga (anak dan istri) untuk selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Islam. (QS Thaha 20:132). Inilah syarat dasar seorang pemimpin: yakni memulai kebaikan dari diri sendiri (QS Al Baqarah 2:44).
Kedua, sikap kepemimpinan. Memposisikan diri sebagai pemimpin dan pelopor kebaikan dengan menunjukkan kepedulian pada sesama muslim salah satunya adalah dengan berusaha meningkatkan level keilmuan, keislaman dan keimanan mereka (QS Ali Imron 3:110 ).
Ketiga, keilmuan. Seorang santri yang kredibel adalah seorang yang berilmu. Santri adalah ahlul ilmi. Ia adalah ulama di mana keilmuannya melebihi kalangan yang dipimpinnya dan karena itu ia dihormati (QS Al Mujadalah 58:11). Setidaknya ia melebihi yang lain di bidang ilmu agama (QS At Taubat 9:123). Tanpa itu apa bedanya santri dengan kalangan nonsantri?
Keempat, level sosial dengan non-muslim. Menghormati dan mentolerir (tidak membenci) pemeluk agama lain selagi mereka tidak mengganggu kita. Bahkan jika perlu melindungi hak-hak nonmuslim yang didzalimi seperti yang ditunjukkan Rasulullah pada nonmuslim Madinah.
Kelima, memakai standar etika tinggi. Seorang yang memposisikan diri sebagai seorang santri yang baik hendaknya memakai standari etika yang tinggi. Baik etika Islam maupun sosial. Quran menyebutnya dengan istilah iffah (QS An Nur 24:33; An Nisa’ 4:6).
Sikap iffah ditandai dengan kemauan yang kuat untuk menghindari perilaku yang tidak dianjurkan dalam agama dan juga sikap yang dianggap kurang baik dalam pandangan etika sosial di suatu masyarakat tertentu.
Iffah juga dapat bermakna selalu berusaha menjaga martabat, kehormatan dan harga diri dengan cara selalu bersikap konsisten antara kata dan tindakan; disiplin dalam memelihara kesucian diri, berkemauan kuat menjunjung reputasi dan nama baik.
Hanya dengan itu santri akan memiliki kredibilitas dan mendapat respek di mata orang-orang di sekitarnya. Bukan hanya di mata kawan dan “lawan,” tapi juga terutama dalam pandangan orang-orang yang dipimpinnya.
Inilah lima unsur yang akan membuat seorang santri kredibel dan dapat mengklaim dirinya mewakili kepribadian muslim sejati.[]
Oleh A. Fatih Syuhud
Dewan Pengasuh: PP. Al-Khoirot
[1] Istilah pembagian umat Islam Indonesia menjadi santri dan abangan dipopulerkan oleh Cliffort Geertz dalam bukunya The Religion of Java (Chicago, USA: University Of Chicago, 1976).
Tweet |
0 comments: