S
alah satu tujuan Islam adalah untuk memberdayakan umat manusia supaya dapat mengoptimalkan potensi diri dan dengan demikian menjadi invidu terbaik di lingkungannya (QS Ali Imron 3:110). Menjadi seorang figur terbaik itu hampir mustahil dicapai apabila tanpa disertai dengan ilmu. Oleh karena itu, ilmu dan orang yang berilmu menempati posisi yang sangat tinggi dalam Islam yakni beberapa level di atas yang lain (QS Al Mujadalah 58:11).Mengapa keilmuan sangat diagungkan dalam Islam, hal itu tidak lepas dari banyak faktor, antara lain internalisasi nilai-nilai ideal Islam.
Islam memerintahkan seorang individu muslim untuk mereformasi diri dalam rangka menuju kepribadian yang lebih dekat pada nilai-nilai ideal Islam (QS Al Balad 90:10-16). Untuk menuju ke arah ini, diperlukan setidaknya dua hal dalam diri seorang muslim.
Pertama, niat atau determinasi untuk mereformasi diri. Ahli psikologi sepakat bahwa keberhasilan apapun sangat tergantung pada niat atau kemauan kuat yang disertai dengan semangat (courage) dan kepercayaan diri (confidence) seseorang. Tanpa itu, sulit mencapai apapun yang dituju termasuk dalam mencapai internalisasi nilai-nilai ideal Islam. Karena pentinya niat ini, maka pakar fiqh (yurisprudensi Islam) sepakat bahwa niat menjadi faktor sah dan tidaknya suatu perbuatan ibadah seperti salat atau puasa. Hal ini berdasarkan sebuah Hadits sahih yang menyatakan bahwa “Sahnya suatu perbuatan itu tergantung pada niat.” (Innamal a’malu bin niyyat).
Kedua, ilmu. Setelah ada niat yang benar, maka ilmu menjadi sebuah keniscayaan untuk mencapai apa yang kita tuju termasuk dalam rangka menjadi pribadi muslim yang (mendekati) ideal. Dalam hal ini, ilmu agama dasar hendaknya menjadi prioritas utama sebagai sarana untuk mengenal apa yang halal dan haram, yang sunnah dan makruh dalam Islam. Pengetahuan dalam soal halal-haram ini penting dan akan menjadi koridor atau pagar minimal bagi kita dalam melangkah menempuh kehidupan keseharian.
Namun demikian, fungsi ilmu tidak hanya utnuk mereformasi kepribadian. Ia juga menjadi alat untuk mencapai tujuan apapun yang positif dan bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Ilmu semakin berkembang seiring perkembangan zaman. Islam tidak melarang seorang muslim untuk mempelajari dan mengkaji keilmuan apapun selagi untuk niat yang baik dan secara riil dapat bermanfaat.
Imam Abu Hamid Al Ghazali (Ihya Ulumuddin, Darul Kutub, Beirut, 2007, hlm. I/60) membagi ilmu menjadi tiga kategori. Pertama, ilmu yang tercela secara mutlak yakni ilmu yang tidak bermanfaat secara duniawi maupun ukhrowi. Kedua, ilmu yang terpuji secara mutlak yaitu ilmu agama terutama yang berkaitan dengan Allah, sifat-sifatNya dan segala ilmu yang dapat mendekatkan diri untuk mengenal-Nya. Ketiga, ilmu yang baik tapi tidak perlu berlebihan mempelajarinya yaitu yang berkaitan dengan ilmu fardhu kifayah.
.Poin terpenting adalah bahwa ilmu menjadi sarana penting untuk apapun yang kita tuju dalam kehidupan kita baik dalam mencapai kehidupan duniawi maupun spiritual.[]
Oleh: KH. Ahmad Fatih Syuhud
Dewan Pengasuh: PP. Al-Khoirot
Tweet |
0 comments: