RSS

Bagaimana Cara Membaca?(3)

A

da dua hal penting yang harus diperhatikan dalam membaca, pertama jenis buku bacaan, dan kedua adalah waktu membaca.

1. Jenis buku bacaan.
Jenis buku yang akan anda baca pasti tergantung kepada kebutuhan dan apa yang anda cari dari membaca itu. Terdapat barbagai macam jenis buku di pasar, ada buku yang tidak perlu dibaca sekali duduk, seperti buku-buku besar yang menjadi referensi, ensiklopedia, dan kamus-kamus, buku jenis ini hanya dibaca ketika diperlukan sebagai referensi.

Ada juga buku-buku lama, yang berisi cerita dan dongeng, yang tidak perlu memeras otak untuk memahami dan menguasainya, buku itu biasanya dibaca sebagai hiburan, atau hanya untuk mendapat sedikit keperluan, dan buku ini biasanya tidak dibaca kecuali sekali saja, kacuali kalau ada sebab yang mengharuskan kita mengulanginya, pembacapun merasa tidak perlu mengulangi membacanya, untung-untung kalau ada yang mau membelinya! Buku jenis ini harus dibaca dengan cepat, dan mungkin dicoret atau diberi tanda pada beberapa poin apabila dia merasa itu penting. Seperti novel dan buku-buku cerita.

Ada juga jenis buku yang rasanya harus dibaca dengan lambat, santai, dan penuh penghayatan, tetapi setelah membacanya, sang pembaca merasa tidak perlu mengulanginya lagi, karena apa yang berisi dalam buku itu sudah berpindah ke kepalanya. Dan selanjutnya buku itu bisa duduk tenang dalam lemari atau di atas rak buku. Mungkin suatu ketika dibutuhkan lagi untuk memastikan maklumatnya, maka bisa dibaca ulang lagi. Dan ketika membaca buku jenis ini, sebaiknya pembaca memiliki notes, dan mencatat apa-apa yang sekirnya penting untuk dihafal atau diingat selalu. Buku jenis ini terdapat sekitar 5% dari 100 buku yang beredar di toko-toko .

Ada jenis buku yang ketika dibaca, pembaca tidak bisa memahami seluruh isinya, meskipun sudah berusaha, yang membuat dia harus mengulanginya lagi, dan buku jenis ini sangat sedikit dibanding jenis-jenis buku sebelumnya. Tetapi terkadang ketika dia mengulangi membacanya untuk kesekian kali, dia tidak menemukan apa yang diharapkan, hal itu kadang terjadi karena pemahaman dan cakrawala pembaca sudah berkembang dan lebih maju, dikarenakan bacaan sebelumnya atau karena dia membaca buku lain yang berhubungan dengan pembahsan buku itu. Buku jenis ini biasanya siangkat, seperti matan kitab dan risalah-risalah pendek.

Dan jenis terakhir yang sangat jarang, bisa dikatakan 1 dari 10 ribu buku. Buku yang ketika kita baca semakin membuat kita merindukannya, seakan apa yang kita baca tidak ada akhirnya, semakin diulang semakin banyak hal baru yang dipahami dari buku itu. Seperti Quran, buku yang semakin dibaca semakin menambah luar biasa pengetahuannya, semakin dikaji semakin dalam pemahamannya. Ada juga buku-buku lain lebih rendah levelnya dari Quran yang ditulis oleh penulisnya dengan seni menulis yang luar biasa, yang membuat kita selalu ingin membacanya, seperti karya-karya sastra.
Buku jenis inilah yang harus selalu dibaca, sehingga bisa membentuk kepribadian yang bagus, dan maju bersama buku itu.

2. Waktu membaca
Sebuah ide yang brilian kalau kita mau memperhatikan dan melihat waktu yang cocok dan tepat untuk membaca, kita mencari waktu yang tepat dimana otak sedang fresh dan siap menerima masukan pengetahuan baru, golden time. Sebagian orang menyediakan golden time itu satu jam sehari, dimana dia mengurung diri bersama buku, tidak mau menerima tamu, menolak ditelpon, dan tidak berbicara kepada siapapun yang ada dalam rumahnya. Dia mengatakan kepada anak, atau istri atau pembantunya, "Apapun yang terjadi jangan ganggu saya, jangan kasih tahu saya, kecuali kalau rumah ini terbakar!"

Kalau setiap tempat bisa dipakai untuk membaca, maka setiap saat pun kita bisa membaca. Tetapi ada saat-saat emas yang bisa membuat kita lebih enjoy dalam membaca. Contohnya:
• Bacalah dipagi hari, setelah subuh, atau saat perjalanan ke sekolah atau ke kantor, ada waktu panjang antara bangun subuh sampai berangkat sekolah atau kerja. Waktu pagi begini bagusnya membaca buku-buku umum, seperti sastra, sejarah atau filsafat.
• Sore hari setelah istirahat pulang sekolah atau pulang kerja, dan biasanya sebelum magrib atau makan malam, itu adalah salah satu golden time untuk membaca buku-buku spesialisasi anda.
• Sebelum tidur, adalah salah satu golden time juga untuk membaca, cocoknya sebelum tidur membaca novel atau buku-buku ringan lainnya .
Ini hanya gambaran pembagian waktu untuk orang-orang yang sibuk bekerja, kalau untuk pelajar dan mahasiswa tidak demikian, waktu membaca adalah around the clock, tidak ada kata berhenti membaca.

Selanjutnya bagaimana harus membaca? jenis buku bermacam-macam, tidak semua buku mempunyai mutu yang sama, oleh sebab itu cara membacanyapun berbeda-beda. Tetapi ada kaidah umum untuk membaca setiap buku, ringkasnya sebagai berikut:
• Tentukan jenis buku dan pembahasannya, apakah sosial atau eksat ataupun bahasa.
• Pastikan kata kunci dari buku itu, yaitu kata-kata yang menjadi tema utama buku itu.
• Garis bawahi poin-poin yang anda anggap penting dari bacaan itu.
• Ringkaslah pikiran utama dari setiap bab yang anda baca dengan menggunakan bahasa anda sendiri, sehingga lebih mudah anda ingat.
• Tulislah pemikiran atau ide-ide yang anda temukan dari buku itu dalam sebuah catatan khusus anda, dimana catatan-catatan dari buku lain juga anda simpan disana.


WRITTEN BY:
H. Saifannur, Lc
(Mahasiswa Aceh yang Sedang Melanjutkan Program S-2 Di Damascus University Syiria)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Antara Kitab dan Sunnah, ada Bid’ah

Posisi Kitab dalam Islam

S

ejak pertama Islam lahir, Allah sudah mendeklarasikan Islam itu bersifat komprehensif dan universal dalam segala ruang dan waktu. Sifat itulah yang membuat Islam itu pantas untuk bertahan di panggung dunia, misi dan tanggungjawab Islam tidak akan berakhir selama manusia masih ada di muka bumi sebagai objek “ibtila”.

Ketika Allah menciptakan manusia sebagai objek “ibtila”, Allah selalu saja mengutus seorang nabi dan sebuah Kitab atau suhuf yang berupa tuntunan, dari fenomena ini kita bisa menyimpulkan bahwa belajar memang butuh guru, tidak hanya cukup dengan membaca buku secara otodidak. Kitab yang dikirim itu selalu saja “direvisi” dari generasi ke generasi sesuai kebutuhan masyarakatnya.

Zabur berisi doa dan pujian-pujian, Taurat Kitab berisi hukum yang begitu tegas dan keras sebelum diutak-atik oleh “tangan-tangan” setan, Injil pun demikian sebelum diutak-atik berisi hukum dan ajaran toleransi dalam pergaulan sesama manusia, dan terakhir Quran, Allah melengkapi Kitab itu dengan pujian, doa, hukum, ajaran dalam bermuamalat dan akhlak, nabi Muhammad menegaskan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”, bisa kita katakan Quran itu revised-edition dari semua Kitab suci sebelumnya, dan revisi ini sudah final, tidak bisa direvisi lagi dengan ditutupnya pintu nubuwwah dengan wafatnya nabi Muhammad sallallahualaihi wasallam.
Quran adalah Kitab suci semua umat manusia, bukan hanya umat Islam. Quran diturunkan secara berangsur dengan berbagai hikmah dibalik itu. Sahabat Ibnu Mas’ud mengatakan, “ Tidak ada ayat yang turun kecuali aku mengetahui sebab nuzulnya”. Statement ini tidak berarti bahwa semua ayat Quran itu turun dan punya sebab nuzulnya, tetapi semua ayat yang turun kalau dia punya sebab nuzulnya, maka Ibnu Mas’ud tahu sebabnya .

Allah telah berjanji akan menjaga kesucian dan kebenaran Quran itu sampai hari Akhir nanti dari “tangan-tangan setan”, Dia berjanji akan menjaganya, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Quran, dan kami yang akan bertanggungjawab menjaganya”. Kita tidak usah khawatir terhadap eksistensi Quran, meskipun seluruh dunia sepakat mau membakar dan menginjak-injak Quran, apalagi cuma menafsirkannya dengan dengan tafsiran macam-macam. 100 mushaf Quran dibakar di Amerika, 100.000 manusia penasaran mau membaca apa isi Quran yang sampai membuat sekelompok orang “gila” bernafsu membakarnya. Kalau Allah sendiri yang berjanji menjaganya, maka Allah menggunakan “tentaraNya” di dunia sebagai perantara (Maha Suci Allah, Dia tidak butuh kepada tentara), dengan tujuan membuka pintu surga buat kita, makanya kita yang harus selalu berusaha untuk menjadi “tentara” Allah di muka bumi dengan kapasitas masing-masing pastinya, membaca Quran, menghadiahkannya kepada orang lain, menghapalnya dan mengamalkan isinya, semua itu adalah bentuk khidmah kita kepada Quran, dan dengan itu kita telah mendapat nomor registrasi sebagai tentara Allah di muka bumi.
Dengan ini, kita semua sepakat bahwa Quran adalah Kitab tuntunan, yang berisis undang-undang, peta di dunia untuk sampai ke negeri Akhirat dengan selamat. Kalau kita sudah sepakat, maka kita harus bertindak berdasarkan tuntunannya, karena dia guide yang akan membimbing kita sampai ke tujuan.

Posisi Sunnah dalam Islam
Quran adalah guide utama, maka guide ke dua adalah Sunnah, kita katakan guide ke dua bukan berarti mereka terpisah satu sama lain, tetapi antara kita dan Sunnah ada relasi yang kongkrit dan akurat, yang tidak bisa dipisahkan, bisa kita katakan Sunnah adalah asisten Kitab dalam menjalankan tugasnya, dan ini juga bukan berarti Kitab tidak sempurna sehingga perlu pelengkap, tetapi Sunnah adalah penjelas hal-hal yang global dalam Kitab, Sunnah adalah contoh praktis dari undang-undang yang tertuang dalam Kitab (surat Al Nahl ayat 44 dan 64) .

Quran menyuruh kita shalat, tetapi tidak menjelaskan detailnya rakaat, syarat sah dan apa saja yang membatalkan shalat, Quran menjelaskan tentang perekonomian, politik internasional, hubungan antar negara pada masa damai dan masa perang, tetapi praktek dan detailnya kita tahu dari Sunnah Rasulullah.

Sunnah itu sendiri bisa dikatakan “Segala perkataan, perbuatan, dan statmen persetujuan Rasulullah atas perbuatan dan perkataan para sahabatnya saat beliau mengetahuinya” .
Rasulullah dalam banyak hadits menyuruh kita untuk selalu berpegang pada Sunnahnya, antara lain:
1. “Berpeganglah kalian pada Sunnahku dan Sunnah-Sunnah Khalifah Rasyidin setelah aku”.( HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah)
2. “Sesunggguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah dan hadits Rasulullah, dan seburuk-buruk perkataan adalah yang bid’ah-bid’ah”. (HR. Muslim)
3. “Orang yang berpegang pada Sunnahku pada saat dunia sedang rusak, pahalanya seperti orang mati syahid”. ( HR. Thabrani)

Sunnah sendiri yang berupa perbuatan dan tingkah laku nabi (af’al rasulillah), terbagi ke dalam beberapa pembagian sesuai kapasitas kandungan hukumnya .
1. Af’al Jibilliyah, perbuatan yang berupa kebiasaan beliau sebagai seorang manusia, seperti duduk, berdiri, berjalan, tidur, dan sebagainya. Untuk jenis ini kita tidak diwajibkan mengikutinya, kecuali kalau disuruh dengan dalil tertentu.

2. Perbuatan yang jelas itu adalah khusus untuk nabi saja, seperti kewajiban shalat dhuha, witir dan tahajud, dan boleh bersitri lebih dari 4. Untuk jenis ini kita tidak diperbolehkan mengikutinya.

3. Perbuatan selain dua jenis di atas, yang berkapasitas tasyri’ (legislative). Untuk jenis ini kita dituntut untuk mengikutinya, adapun status tuntutan itu wajib atau sunat, itu tergantung pada jenis Sunnahnya .

Sumber utama legislasi hukum Islam
Setelah kita paparkan tentang Kitab, Sunnah dan relasi antara keduanya, kita sampai pada kesimpulan bahwa hukum Islam itu berdasarkan dan bersumber pada dua sumber itu, yaitu Kitab dan Sunnah, adapun sumber lain baik yang disepakati ulama umat ini maupun yang diperdebatkan seperti ijma’(consensus of opinion), qiyas(analogical deduction), istislah(reasoning based on unrestricted interest), istihsan(juristic preference equity), dan lain-lain, itu semua adalah penjabaran dari Kitab dan Sunnah juga, semuanya bersandar pada Kitab dan Sunnah.

Ada sekelompok orang yang mendakwakan bahwa Quran telah sempurna, kita tidak butuh pada Sunnah, dengan dalih firman Allah dalam surat Al An’am ayat 38, “ Tidak lah kami alpakan sesuatupun dalam Kitab”, dan surat Al Nahl ayat 89, “ Dan kami turunkan kepadamu Quran sebagai penjelasan segala sesuatu”. Ini semua adalah “pemerkosaan” terhadap teks Quran, dakwa yang sekilas terlihat mengajak untuk berpegang teguh pada Quran, padahal dibalik itu ada konspirasi besar untuk meruntuhkan bangunan Islam, karena tidak mungkin menjadikan Quran saja sebagai petunjuk dengan mengacuhkan Sunnah, karena Sunnah itu sendiri wahyu Allah, hanya saja tidak langsung lewat teks seperti Quran, tetapi lewat nabi Muhammad.
Ada bid’ah diantara Kitab dan Sunnah

Fenomena bid’ah banyak menyita perhatian umat akhir-akhir ini, dan fenomena itu (baik disengaja atau tidak) telah berperan besar menjadi salah satu faktor kuat yang merusak persatuan umat Islam. Kita akan memulai pembahasan ini dari satu titik poin yang disepakati oleh umat Islam sejak dulu, yaitu bahwa bid’ah itu “makar” dan salah satu bentuk “kriminalitas” dalam agama, yang wajib dijauhi oleh setiap individu muslim dalam segala lini kehidupannya. Berdasarkan firman Allah dalam surat Syura ayat 21, surat An Nahl ayat 116 dan hadits Sayyidah Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Imam Muslim dalam Kitab Shahih mereka.

Sekarang, kalau kita sudah sepakat di poin itu, kita harus membuat definisi bid’ah yang telah kita sepakati tadi, berdasarkan tuntunan Kitab dan Sunnah, yang akan kita ambil dari hasil penelitian ulama-ulama yang merupakan ahli waris pemilik Sunnah.

Adapun secara bahasa, bid’ah itu berarti sesuatu yang baru, yang belum ada sebelumnya, tetapi disini kita tidak memakai pengertian bahasa, karena terlalu luas dan bukan itu yang dimaksud dalam hadits. Dan jelas secara bahasa bid’ah bisa hasanah, bisa saja sayyi’ah, tetapi kalau bid’ah dalam konteks syariah tidak ada yang hasanah, semuanya akan tunduk di bawah hadits Rasul, “Kullu bid’at dhalalah”.

Ketika kita merujuk pada penelitian ulama-ulama kita terdahulu, kita akan menemukan macam-macam definisi bid’ah, tetapi kalau kita perhatikan semua definisi itu, kita akan menemukan 1 titik poin yang menjadi landasan mereka . Kita akan mengambil definisi yang mungkin paling singkat dan paling “mantiqi” dan rasional, yaitu bid’ah yang didefinisikan oleh Imam Syatiby dalam maha karya beliau “Al I’tisham”, yaitu, “ Perbuatan yang dibuat atas nama Ajaran Agama dengan tujuan ibadah” .

Jadi, jelas bahwa konteks hadits di atas hanya berlaku pada urusan Agama, yang menjadikan urusan bukan bagian dari agama menjadi bagian dari agama, baik itu ibadah maupun aqidah. Kalau kita sudah paham maksud dari bid’ah dalam konteks Syariah, Ada 3 hal penting yang harus kita jelaskan disini:

1. Adat dan kebiasaan.
Apakah disini berlaku rumusan bid’ah? Apakah menyalahi adat dan kebiasaan yang berlaku pada zaman rasul dan sahabat termasuk dalam arti bidah yang diancam dengan neraka?
Para ulama tidak mencapai satu titik sepakat dalam hal ini. Sebagian tidak mau menyalahinya, sebagai bentuk penghormatan dan khidmah mereka kepada pendahulunya, baik dari pakaian maupun cara hidup. Sebagian lagi mengganggap kebiasaan baru yang tumbuh bersama zaman tidak ada hubungannya dengan bid’ah yang dimaksud dalam hadits Nabi, maka seorang muslim boleh saja membuat kebiasaan baru meskipun bertentangan dengan kebiasaan pada masa Nabi, karena pada dasarnya adat itu bukan syariat dan “bukan” sumber hukum dalam agama.
Semua itu bisa kita lihat dari kehidupan para sahabat dan tabi’in, banyak adat dan kebiasaan mereka berubah ketika di Mekah dan di Madinah. Itu semua karena tuntutan zaman dan keadaan. Contohnya memakai cincin, khutbah jumat yang berjalan 8 tahun dengan bersandar pada batang pohon kurma, kemudian berubah pandah ke atas mimbar, itu terjadi pada masa rasulullah, dan contoh lain adalah renovasi masjid nabawi oleh khalifah Usman bin Affan karena tuntutan zaman .

2. Media atau Sarana dalam implementasi makna bid’ah.
Hal kedua adalah media dan sarana, apakah disini juga berlaku bid’ah? Dalam Islam kita mengenal tsawabith (prinsipil) dan mutaghayyirat (variabel), hal-hal yang bersifat prinsipil itu tidak bisa diutak-atik, karena itu adalah esensi dari perintah dan larangan Allah, seperti rukun iman, rukun Islam, kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar dan lain sebagainya.

Tetapi, apakah sarana amar ma’ruf nahi munkar itu termasuk hal prinsipil? Semua ritual ibadah haji adalah prinsipil, seperti melempar jumrah, tetapi apakah tempat melemparnya yang hari ini sudah bertingkat-tingkat termasuk prinsipil? Sehingga melempar jumrah dari lantai 3 termasuk bid’ah?. Orang mau mengingat nabi Muhammad sebagai bukti cinta mereka boleh saja, bahkan disuruh oleh agama, kalau mereka mengingat rasulullah pada hari lahir beliau sebagai hari lahir peradaban baru dengan cara berkumpul dan bersalawat bersama, apakah tindakan itu prinsipil? Sehingga dikatakan bid’ah?, Berzikir itu disuruh, kalau ada orang mau berzikir dan menghitung jumlah zikirnya dengan tasbih, tindakan menghitung pakai tasbih itu termasuk prinsipil atau variable?. Jual beli adalah salah satu cara kita untuk memiliki harta orang lain, dan hari ini sarananya adalah uang, dan Sunnah mewajibkan serah-terima uang itu sebelum kedua pihak berpisah, tetapi hari ini orang-orang membayar pakai credit-card, atau cek, apakah cara serah-terima langsung itu termasuk dalam prinsipil agama atau variabelnya?. Jadi, yang dimasukkan dalam teori rumusan bid’ah di atas adalah esensi ibadah itu, adapun wasilah dan sarananya boleh saja kita ikut perkembangan zaman dan tempat, selama hal itu tidak menyentuh esensi ibadah dan tidak menjadikan wasilah atau sarana itu bagian dari ibadah.

3. Bid’ah hanya berlaku pada Ibadah dan Aqidah.
Ada hadits “Kullu bid’atin dhalalah”, yang punya statemen itu adalah syari’, artinya pembuat syariah, maka konteks pembicaraanya pun konteks syariah, maka untuk memahami konteks itu, kita harus menggunakan metode standar yang telah diatur syariah sendiri. Yaitu penafsirkannya dalam konteks khitab syar’i, adapun hal-hal diluar syariah tidak termasuk. Syariah itu yang mana? Syariah itu adalah semua yang sudah digariskan dalam Kitab dan Sunnah.
Untuk itu, jangan terkecoh dalam memahami antara bid’ah secara bahasa dan bid’ah dalam konteks agama, semua bid’ah dalam konteks agama adalah sesat , seperti yang telah kita jelaskan di atas, adapun bid’ah dalam konteks bahasa, maka sah-sah saja dia dibagi menjadi 2 seperti pembagian Nabi Muhammad dan sayyidina Umar bin Khattab, atau bahkan 5 seperti pembagian Imam Izza bin Abdussalam dalam maha karyanya Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam.

Pencampuran arti bid’ah secara bahasa dan bid’ah dalam konteks syariah, dan pencampuran antara ibadah -yang merupakan esensi agama- dengan adat, sarana dan wasilah yang terus berkembang seiring berkembangnya zaman adalah penyebab tumbuh dan menjamurnya “ngawurisme” dalam memvonis sebuah perbuatan, dan itu menyebabkan perpecahan dalam barisan umat yang seharusnya agama adalah sarana dan perekat untuk kita bersatu. Wallahu a’alam.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perlukah Peresmian Qanun Jinayat di Aceh saat ini?

S

udah beberapa tahun penerapan Hukum Islam di Aceh, dan hasilnya apa yang kita lihat saat ini, ada yang optimis bahwa undang-undang itu bisa survive dan ada sebagian lagi yang pesimis akan hal itu. Bisa dikatakan bahwa mundur dan menon-aktifkan undang-undang itu dan kembali ke undang-undang Belanda adalah tindakan yang sangat riskan, karena secara tidak langsung kita telah mendhalimi Hukum Allah. Kita telah membuktikan bahwa hukum Islam memang tidak pantas diterapkan hari ini, dan telah terbukti dari apa yang kita laksanakan. Jadi opsi untuk mundur tidak mungkin dipilih, sedangkan untuk meneruskan banyak hal yang dikhawatirkan, antara lain “tidak” siapnya masyarakat dengan penerapan ini, seakan ada public shock ketika undang-undang ini diterapkan. Semua terjadi karena memang masyarakat kita itu masih belum sampai level itu, karena telah lama “bergumul” dalam kehidupan yang tidak dibatasi ketat oleh hukum-hukum agama, kurangnya pemahaman terhadap Agama yang membuat itu semua meraja di lingkungan kita. Mengutip istilah Syeikh Badruddin Hassun, Mufti Suriah, bahwa masyarakat kita saat ini adalah Mujtama’ Dha’ik (Masyarakat yang kehilangan jati diri -Ubudiyyah-), jadi tugas utama sebagai prakondisi untuk itu adalah mengembalikan jati diri muslim yang telah lama gentayangan, apabila jati diri muslim itu telah kembali, maka seorang muslim itu akan datang ke Pengadilan untuk minta dihukum karena kesalahan yang dia lakukan, tanpa dikejar-kejar oleh aparat. Begitulah yang terjadi pada beberapa kasus penerapan cambuk dan rajam pada zaman Rasulullah.

Orang dulu mengatakan “ Nasi telah jadi bubur”, sebuah ungkapan untuk mengekspresikan sebuah perbuatan yang terlanjur dilakukan dan kini dihampiri penyesalan. Mungkin ungkapan itu (menurut sebagian orang) cocok bagi fenomena penerapan hukum Islam dalam masyarakat kita. Namum, saya mengatakan bahwa hari ini ungkapan tersebut tidak bernilai lagi. Kalau nasi telah menajdi bubur, kita tidak harus membuang adonan itu, tapi masih bisa kita manfaatkan, bubur itu kita beri sedikit bumbu dan kita campur dengan ayam, jadilah bubur ayam yang lebih lezat dari pada nasi. Apa yang saya maksud dari ini semua? Keputusan yang terlanjur diambil untuk menerapkan hukum Islam di tengah masyarakat yang tidak stabil itu adalah kesalahan besar. Pengalaman yang kita lihat dari sebuah propinsi di Nigeria yang menerapkan hukum Islam sebagai ganti Code Penal Perancis adalah sangat menyesakkan dada. Negara miskin yang penduduknya belum tentu bisa makan 2 kali sehari ingin memotong tangan pencuri. Akhirnya penduduk propinsi yang tidak tahan dengan keadaan itu kabur ke propinsi lain yang mayoritas Kristen, bayangkan kalau mereka semua berpindah agama cuma gara-gara sebagian orang yang ambisius ingin penerapan potong tangan pencuri, maka siapa yang yang bertanggungjawab atas musibah itu? Melihat betapa berharganya Islamnya seorang manusia, saat itu Rasulullah berkata kepada Ali Bin Abi Thalib, “Seandainya seorang manusia mendapat hidayah Allah (masuk Islam) melalui tanganmu, maka itu lebih baik bagimu dari dunia dan isinya”, jadi apa hukuman bagi orang yang menjauhkan manusia dari Islam?apa lagi mengeluarkan dari Islam dengan perbuatannya?. Maka sebelum kita tuntut Pak Irwandi menandatangani Undang-undang itu, mari kita siapkan dulu komunitas yang siap menerima semua itu, pengalaman Rasulullah sendiri bisa kita lihat, 10 tahun setelah Negara Islam Madinah berdiri baru diterapkan hukum cambuk dan rajam, padahal saat itu yang menghuni Madinah adalah manusia-manusia yang dikatakan Allah secara langsung “Kuntum Khaira Ummatin” Ummat pilihan dan terbaik.
Kalau kita pelajari metode politik Coup de etat (kudeta), pada saat kita memprovokasi ide-ide itu, kita harus sudah mempersiapkan kabinet yang pada suatu saat apabila kabinet lama jatuh, langsung bisa kita isi dengan kabinet baru, tanpa terjadi Vacum of Power dalam pemerintahan. Sejak tahun 60-an para Endatu kita telah berjuang menuntut penerapan hukum Islam di negeri kita, tapi baru 45 tahun kemudian terealisasi. Kesalahan kita adalah menyai-nyiakan 45 tahun itu. Seharusnya 45 tahun itu cukup untuk mempersiapkan generasi yang Islami (Dream Citizen) yang bisa menerapkan hukum-hukum itu tanpa pakasaan, tapi karena Iman dan Ubudiyyahnya kepada Allah. Mungkin negara kita selalu dalam konflik selama 45 tahun itu, tapi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa kaderisasi generasi terhambat. Jadi, karena sekarang telah diketok palu peresmian penerapan hukum Islam, maka pekerjaan kita bertambah, Pertama mengawal hukum itu dengan menjaga “kehormatan”nya, dan Kedua menciptakan generasi ideal.
Sayyidina Umar pernah berkata, “ Tegakkanlah Syariat dalam dirimu, maka dia akan tegak di negaramu”. Sebuah ungkapan luar biasa yang telah beliau buktikan sendiri, dan ditegaskan kembali oleh Umar II, yaitu Umar Bin Abdul Aziz pada masa dinasti Umayyah di Damascus. Kesalahan kembali muncul saat kita saling menyalahkan, masyarakat menyalahkan pemerintah dan aparat-aparatnya yang tidak becus memimpin, pemerintah menyalahkan masyarakat yang tidak patuh pada aturan, mahasiswa menyalahkan Ulama-ulama yang tidak bisa menjadi pembimbing rohani bagi masyarakat, akhirnya mata rantai saling menyalahkan berputar terus, kenapa tidak ada satu orang yang memotong mata rantai itu dengan mengatakan, “ Ini salah saya, jadi saya harus introspeksi diri, kalau saya introspeksi diri, saya yakin semua akan menjadi lebih baik”.
Yang diperlukan saat ini adalah saling mendukung dan memainkan peran masing-masing sebaik-baiknya. Ulama-ulama yang notabenenya pemimpin spiritual masyarakat agar memainkan peran itu sebaik mungkin, Petani yang notabenenya produsen pangan agar memaksimalkan perannya dengan bantuan pemerintah, mahasiswa yang notabenenya cermin negara hari esok agar berjalan dalam koridor posisinya saat ini, yaitu belajar dan belajar, bukan demonstrasi.
Kadang-kadang saya setuju dengan pendapat DR.Abdullahi, tokoh Liberal Sudan yang mengatakan “Negara Sekuler Ok, Rakyat Sekuler No!”. Jadi, untuk meraih kemakmuran dan masyarakat yang ideal, tidak hanya dengan membuat undang-undang cambuk dna rajam (kita tidak menafikan itu bernilai Ibadah dan sangat mendukung), namun selain itu mimpi tersebut bisa diraih dengan “Kesadaran Bersama”. Kita tidak mau berbicara teori macam-macam, kita ingin yang kita katakan itu bisa terealisasi dalam kehidupan nyata. Saya katakan itu bukan teori, tapi telah dipraktekkan, dan berhasil.
Sebut saja salah satu negara Arab yang begitu keras menentang Israel dan Amerika dan mengalami embargo ekonomi selama bertahun-tahun, yaitu Republik Arab Suriah, yang beribukota Damascus. Saya telah bermukim lebih dari tiga tahun di sana, saya melihat bagaimana perang Israel-Libanon, saya melihat Perang Israel- HAMAS, dan saya merasakan embargo ekonomi yang dialami Suriah. Kalau saya ditanyakan apa kelebihan negara itu? Saya akan mengatakan “Di sana ada keamanan yang tidak saya temukan di tempat lain”. Sistem pemerintahan Suriah adalah sosialis, bahkan bisa dikatakan hampir semua “pemimpin” mereka dari Partai Baats itu anti Islam. Semua undang-undang mereka berasal dari Code Penal Perancis, kecuali sebagian besar Hukum Perdata yang diambil dari Fiqh Islami Mazhab Hanafi. Ada 3 hal yang saya perhatikan dan mungkin bisa kita terapkan dalam komunitas kita:

1. Aktivitas Masjid: Masjid benar-benar memainkan perannya seperti yang seharusnya, ribuan masjid di kota Damascus dijadikan tempat “penerapan dan pengkajian hukum-hukum Islam”. Masjid-masjid benar-benar menjadi sentral agama Islam, meskipun undang-undang mereka bukan berasal dari Fiqh Islami, namun Fiqh Islami itu tercermin dalam tingkah laku mereka. Dari masjid-masjid itu para Ulama mengontrol umat, anda bisa menemukan pengajian di masjid manapun anda kunjungi setelah ashar dan maghrib. Anda akan menemukan ulama sekaliber dunia seperti Syeikh Wahbah Zuhaily dan Syeikh Saed Ramadhan al-Buty duduk memberikan pengajian agama Islam, baik itu pengajian Ilmiyyah ataupun Tazkiyah Nafs dan Mau’idhah. Melalui metode ini para ulama bisa mengontrol syariah Islamiyyah bisa berjalan dalam masyarakat tanpa tertulis resmi dalam undang-undang. Setiap individu benar-benar memainkan perannya, pedangan tidak curang, sopir taksi tidak berbohong, mahasiswa tidak demonstrasi, ulama tidak “berdagang” dengan nama agama, dengan itu peran sebagian pemerintah yang tidak suka Islam tidak mempengaruhi masyarakat, pemikiran-pemikiran “nyeleneh” tidak bergaung dalam masyarakat, padahal Muhammad Syahrur yang menjadi kiblat kaum Liberal di Indonesia mengajar di Universitas Damascus dimana kita belajar saat ini, namun tidak ada yang peduli, mereka tahu dia cuma mencari popularitas. Setiap ada isu “nyeleneh” dengan serta-merta masjid meluruskan, karena memang setiap hari masyarakat bertemu dan saling berbagi di masjid. Untuk mengadakan pengajian itu, setiap Syeikh itu harus minta izin resmi dari kementrian Awqaf (Kementrian Agama), dan tidak semua orang berhasil mendapatkan itu, tapi mereka tetap berjuang. Semoga hal demikian bisa terealisasi di negeri kita yang begitu mendukung aktivitas keislaman. Dalam hal ini, semua tergantung tergantung kepada yang memiliki kartu AS disini, yaitu para Tengku, cendikiawan muslim dan pelajar-pelajar Agama.

2. Hukuman yang tegas: Dalam poin ini mungkin akan mendukung penanda-tanganan Qanun Jinayat di negeri kita. Hukuman memang harus tegas dan menjerakan, dalam al-Quran sendiri Allah menyebutkan kata-kata al-Hadid(Besi, sebagai lambang keras dan tegas) setelah menyebutkan “keadilan” dan “pemberian hak-hak sesama”. Apa yang terjadi di Suriah dalam hal ini? Pemerintah tidak segan-segan menghukum siapapun apabila dia melanggar Undang-undang, tidak ada toleransi bagi pelanggaran Hukum, mottonya “Siyadatul Qanun Fauqal Kull” (Kedaulatan dan Kehormatan Hukum di atas segalanya). Untuk meraih itu, lagi-lagi kita butuh prakondisi menciptakan lingkungan yang jujur dan bertanggungjawab.

3. Opini Umum yang bersih: Saya tidak menafikan adanya maksiat dan pelanggaran dalam masyarakat di komunitas itu, anda bisa melihat toko minuman keras berjejeran sepanjang 500 meter di terminal Pusat Sumariah di Ujung kota Damascus, anda juga bisa menemukan daerah prostitusi di daerah Masakin di pinggiran kota Damascus, anda juga bisa menemukan DVD porno dijual bebas di pinggiran jalan, anda juga bisa menemukan diskotik dan tempat-tempat penari strip tease dari Ukraina, Rusia dan negara Eropa timur lain di tengah kota Damascus, banyak juga sipil bersenjata, tapi itu semua di bawah pengawasan ketat dari pemerintah, sehingga semua kejahatan yang terjadi selalu bisa terjaga dari terbentuknya opini umum yang salah dalam masyarakat.

Jarang kita temukan berita kriminal di koran-koran dan majalah, apalagi acara-acara seperti Buser, Silet, Kabar-Kabari, Cek n Ricek dan lain-lain yang menyebarkan opini umum yang merusak dalam masyarakat. Hal demikian sangat bertentangan dengan “Mabda’ Tasattur” (Prinsip menutupi kriminal untuk menjaga kebersihan opini umum) dalam Islam. Dalam sebuah hadis Rasulullah mengecam keras perbuatan itu, beliau mengatakan bahwa orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang berbuat dosa pada malam hari, besok paginya Allah menutup kejahatannya itu, tetapi dia sendiri malah menyebarkan kejahatan itu dengan menceritakan kepada orang lain, itu resiko bagi yang menyebarkan kesalahan sendiri, bagaimana dengan yang menyebarkan kesalahan dan aib orang lain dengan mengeksposenya di media massa?

Semua sudah capek dengan kritikan, dan yang mengkritik juga sudah bosan, apalagi yang dikritik!. Saya mencoba memberikan sedikit solusi semoga bisa memperkaya ide-ide para aktivis dakwah dan pemerhati masalah sosial di negeri kita meskipun sedikit. Wallahu A’lam.


WRITTEN BY:
H. Saifannur, Lc
(Mahasiswa Aceh yang Sedang Melanjutkan Program S-2 Di Damascus University Syiria)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Antara Yahoo Messenger dan Mahasiswa (Izza Abdussalam)

M

enjadi mahasiswa memang benar-benar memasuki dunia pendidikan baru yang jauh berbeda dari TK,SD,SMP dan SMU, apalagi kalau menjadi mahasiswa perantauan, di negeri orang jauh dari keluarga. Sebuah fase paling berharga dan sangat menentukan dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Mau tidak mau harus memikul beban tanggung jawab yang sangat besar karena di balik status sebagai "mahasiswa" ada "kerjaan" yang sedang menunggu.

Salah satu problem yang dihadapi mahasiswa di mana saja adalah time-management, karena kadang-kadang pekerjaan dan tanggungjawab lebih banyak dari waktu yang dimiliki, dan kadang-kadang juga waktu terbuang sia-sia karena memang jadwal kuliah berbeda dengan jadwal pelajaran di SD atau SMU. Hal yang kelihatan kecil inilah yang banyak membuat mahasiswa menjadi MAPALA (Mahasiswa Paling Lama) di kampusnya. Ini bukan teori atau cerita lucu, tapi realita yang terjadi di kampus-kampus sedunia.

Bagi mahasiswa yang memiliki aktifitas penuh, kejenuhan pasti sering menghampiri, begitu juga bagi mahasiswa yang "nggak tau kerjaan" pasti juga sering menjadi teman akrab bagi kejenuhan itu. Bagi mahasiswa yang kuliah di luar negeri, kegiatan mereka mungkin terbatas, tidak seperti mahasiswa yang kuliah di negeri sendiri, di mana aktifitas kampus seperti BEM dan organisasi lain banyak menyita waktu mereka.
Seiring berkembangnya teknologi komunikasi, khususnya jaringan internet, yang menyediakan berbagai media dari yang baik dan bermanfaat sampai "sampah" juga tersedia. Media ini menjadi salah satu "teman" yang sering menjadi penghibur mahasiswa, khususnya Yahoo Messenger (YM), YM adalah sarana yang sangat digemari para pengguna jasa internet ini, tidak hanya mahasiswa yang kesepian, tapi sampai kepada pegawai negeri bahkan anggota dewan perwakilan rakyat yang notabene wakil rakyat yang membawa isi hati rakyat, masing-masing dengan visi dan misi yang mereka usung, dari media hiburan sampai ajang berdakwah (menurut istilah mereka).

Sejak YM ada di HaPe, dunia maya yang kata sebagian pakar psikologi adalah crime-ridden area semakin ramai dikunjungi, tidak terkecuali mahasiswa Indonesia di timur-tengah, katanya refreshing habis ngaji. Kita tidak mengakatan YM nggak boleh, YM haram, atau berbagai vonis yang lain, tapi kita akan mengatakan, "Penting atau tidaknya sesuatu itu tergantung hal yang ada dibaliknya".

Tidak semua hal itu mengandung hal negatif, makanya sebelum kita memvonis tentang suatu perkara, hendaknya kita melihat hal itu dari berbagai segi, baru setelah itu kita ambil sebuah konklusi dari perkara itu. Mari kita lihat beberapa sisi positif dan negatif dari YM ini.
Sisi positif:
1. Network, lewat YM kita bisa menambah teman yang mana suatu saat akan menjadi network yang kita butuhkan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bahkan bisa lebih jauh dari itu, ada diantara teman-teman kita yang mendapatkan pasangan hidupnya lewat YM, "Terima kasih YM, engkau telah menyatukan cinta kami" begitu katanya, tapi itu satu antara sepuluh juta.
2. Information exchange, ajang tukar informasi. Lewat YM lebih mudah untuk berdiskusi interaktif antar sesama mahasiswa tanpa harus mengeluarkan biaya besar, bertukar informasi adalah salah satu faktor yang bisa membuat seorang mahasiswa selalu up to date, sehingga hal itu akan mendorongnya untuk terus mengikuti perkembangan, dan mengatur arus perkembangan itu, sehingga arus yang besar tidak menjadi boomerang, tapi akan menjadi senjata baginya untuk terus berprestasi. Ada juga sebagian yang menggunakan sarana ini sebagai lahan berdakwah, tanpa melihat objek dakwahnya, kita menghargai semangat dan jiwa untuk berdakwah yang tertanam dalam pribadi-pribadi tersebut.

Sisi negatif:
1. Menyia-nyiakan waktu, waktu adalah modal utama semua orang, baik yang sukses maupun yang gagal, mungkin kita tidak semua memiliki kemampuan yang sama untuk merangkai prestasi dan meraih kesuksesan, tapi kita semua diberikan waktu yang sama untuk itu. Penghargaan yang tinggi terhadap waktu yang mendorong ulama-ulama kita yang terdahulu untuk mengatakan main catur itu tidak boleh, karena memang jenis permainan seperti itu cukup menyita waktu tanpa hasil apa-apa. Tidak bisa dipungkiri berjam-jam waktu yang dihabiskan untuk chatting akan jauh lebih produktif apabila dialokasikan kepada hal-hal positif yang lain, seperti membaca ataupun menulis, karena dua hal itu adalah tugas utama mahasiswa. Bayangkan setiap hari menghabiskan 4 jam buat chatting, 8 jam buat tidur, 25 menit buat ibadah, 2 jam buat mandi sama masak mie, 1 jam buat macet di servis, 5 jam di kampus, 1 jam buat lain-lain, sisanya 1 jam buat belajar! Begitulah hari-hari berlalu. Sungguh pemborosan waktu yang luar biasa. Semoga kita dijauhkan dari umat-umat yang rugi seperti yang dijelaskan Allah dalam surat al-Ashri.
2. Dekadensi prestasi, ini adalah fakta yang timbul dari poin pertama, tidak bisa dipungkiri, YM sangat berperan besar dalam penurunan tingkat prestasi para pelajar dan mahasiswa, baik di luar maupun di dalam negeri. Buktinya bisa dilihat dari nilai-nilai yang keluar di universitas-universitas yang terdekat.

Mungkin beberapa hal di atas bisa kita jadikan pertimbangan untuk menilai sejauh mana peran YM dalam mewarnai hari-hari mahasiswa, dari hal tersebut kita bisa tahu sejauh mana eratnya kehidupan mahasiswa dengan YM.

Sekarang kita dihadapkan kepada Fiqh Prioritas, yaitu prioritas dalam bertindak, kita harus memiliki standar dalam bertindak, mana yang menjadi primer, mana yang sekunder, mana yang tersier dan mana yang tidak berguna!. Tanpa adanya standar prioritas yang tepat dalam kehidupan, maka yakinlah agenda dalam kehidupan kita akan kacau, akan semakin jauh dari kesuksesan dan kebijaksanaan. Kita merencanakan kesuksesan, bukan merencanakan kegagalan.
Kehilangan standar prioritas dalam bertindak yang telah membuat kita tertinggal, di saat anak bangsa kelaparan, generasi bangsa membutuhkan selembar kertas untuk menulis pelajaran, di saat itu pula sebagian yang lain naik haji setiap tahun, melakukan umroh pada setiap bulan ramadhan! Wallahu a'alam
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

“Islamisasi” KUHP?

B

anyak orang beranggapan bahwa hukum Islam berbeda sama sekali dengan hukum positif( ) yang selama ini diterapkan di Negara kita dan Negara-negara lainnya di dunia. Ini adalah sebuah pemahaman yang salah yang harus diluruskan, meskipun hukum Islam itu memiliki keistimewaan tersendiri, bukan berarti semua hukum positif yang selama ini berbeda sama sekali dan menyalahi hukum Islam seluruhnya, kalau kita membandingkan antara dua sistem hukum tersebut, kita akan menemukan lebih banyak kesamaan daripada perbedaan.

Sebut saja hukum Perdata (code civile), banyak persamaan antara hukum Islam dengan hukum positif, meskipun ada beberapa poin yang berbeda, hal ini terbukti ketika “Lajnah Istisyarah Ulya” di Kuwait melakukan perubahan hukum dari hukum positif ke hukum Islam, begitu juga yang terjadi di Libya, Yaman, dan Jordania ketika mereka menyusun “Hukum Perdata Arab Bersatu”( ).

Adapun dalam hukum Pidana (code penale), hampir semua “kejahatan ta’zir” sama antara hukum Islam dengan hukum positif, hanya perbedaan tipis terjadi pada “kejahatan hudud”, perbedaan besar terjadi pada “kejahatan qisas”. Dan “kejahatan hudud” serta “kejahatan qisas” tidak mewakili 10 % dari hukum pidana Islam( ). Ketika tidak diterapkan hukuman pidana Islam dalam sebuah Negara kita langsung menganggap bahwa “hukum Islam tidak diterapkan” dan dengan serta merta menganggap Pemerintah Dhalimun Fasiqun Kafirun…, itu sebuah kesalahan besar, karena hukum Islam itu tidak hanya diwakili oleh hukum pidana, yang dikenal dengan “ahkam hudud wal qisas”, tetapi Islam punya ahkam ibadah, ahkam usrah, ahkam muamalah, dan akhlaq. Dari 5 hukum tersebut, hanya ahkam hudud wal qisas yang belum sempurna diterapkan, adapun selain itu Negara sudah mengaturnya dan bahkan menjaganya, mungkin dalam ahkam muamalat hanya riba yang belum dihapus, tapi insyallah akan segera “terhapus”.

Banyak hal positif bisa ditiru dalam perumusan hukum positif Barat, antara lain metode penyusunan lebih sistematis dibanding hukum Islam, dan teori perumusan ini tidak ada salahnya kalau ditiru oleh para pakar hukum Islam, dan menyusun hukum Islam sedemikian rupa dengan mengambil dari berbagai “madrasah fiqhiyyah”. Sebut saja contohnya metode penulisan hukum dalam bentuk pasal dan klasifikasi mantiqi ala hukum positif Barat, yang memudahkan kita menemukan hukum, hal itu telah ditiru oleh pakar hukum Islam pada masa dinasty Ottoman, tetapi hanya dalam Hukum Sipil (Qanun Madani). Adapun contoh lain bisa anda temukan jelas dalam Nadhariyyat Iltizamat Aaammah (Konsep Tanggungjawab dan Perjanjian), bagaimana sistematisnya hukum barat membuat metode perumusan hukum . Kita hanya meniru sistem kerangka yang mereka pakai, tapi kandungan dan sumber hukumnya dari kita sendiri. Maka tidak salah kalau dalam kata pengantar buku “Madkhal Fiqhy Aam” dikatakan, “ Yang Lama (pakar hukum) kita jauh lebih baik dari yang Lama mereka (Barat), tetapi yang lama kita tidak selalu lebih baik dari yang baru mereka” .
Disini saya cuma ingin mengajak para pemerhati hukum Islam agar tidak “menutup mata” terhadap hukum positif yang diterapkan di Negara kita, memang secara agama kita (umat Islam) “diharamkan” menerapkan hukum selain hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, tetapi seperti yang kita lihat dalam hukum positif banyak hal yang mungkin bisa kita ambil, bukan semuanya tidak selaras dengan hukum Islam, tapi paling tidak kemajuan dalam metode kodifikasi yang telah mereka capai bisa kita jadikan rujukan.

Meskipun demikian, tetap saja hukum Islam memiliki nilai plus yang tidak bisa dijadikan lahan komparatif antara hukum Islam dengan hukum positif, salah satunya adalah penerapan hukum dalam Negara berdasarkan syariat Islam adalah cerminan dan implementasi dari ubudiyah kita sebagai umat Islam.
Ketika kita membuat sebuah perbandingan antara dua objek, paling tidak antara dua objek itu harus ada titik temu yang membuat mereka setara, sehingga bisa disandingkan dalam timbangan komparatif. Kalau kita membuat timbangan komparatif antara hukum Islam dengan hukum positif, kita akan menemukan perbedaan besar yang tidak ada titik temu antara dua objek itu, yang satu turun dari langit yang dibuat oleh Maha Hakim, dan yang kedua lahir di bumi dan “diracik” oleh sebagian “otak” penghuni bumi untuk diterapkan ke seluruh “otak” penghuni bumi.

Hukum positif berasal dari hasil buatan sekelompok manusia yang saat dibuat hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka, seiring kemajuan sosial, akhlak dan banyaknya manusia, hukum tersebutpun bertambah besar. Bisa dikatakan bahwa hukum positif itu lahir bagaikan bayi yang kemudian besar bersama waktu, dan suatu hati akan tua dan tidak pantas untuk diterapkan lagi, dan akan lahir hukum positif yang baru( ).

Hukum positif itu tumbuh dari sebuah keluarga yang kemudian terbentuk suku dan pada hari ini tumbuh menjadi sebuah Negara, jadi hukum positif itu berbeda dari satu Negara ke Negara yang lain. Sejak abad 18 banyak Negara yang sudah menyamakan hukum yang mereka terapkan, semua itu sukses dibawah tangan para filosof dan sosiolog-sosiolog Perancis, Jerman dan lainnya di Eropa. Meskipun demikian, tetap saja kita temukan perbedaan pada setiap hukum itu, kita bisa menemukan berbagai aliran mazhab hukum mereka.

Adapun hukum Islam tidak demikian, dia terlahir dengan sempurna, dan selalu akan sempurna dan tidak akan berubah sampai hari akhirat. Dia sudah baku dan tidak bisa “diutak-atik” lagi, meskipun dia bisa menyesuaikan diri dengan zaman karena sifat universal dan komprehensif yang dimilikinya.
Disini saya ingin menekankan di hukum pidana saja, karena hukum pidana atau fiqh jinayat memang sudah dimarginalkan, tidak hanya oleh para “pahlawan” hukum positif, tetapi juga oleh umat Islam sendiri, dengan alasan “tidak diterapkan”!. Kami (bukan kita) menyadari itu ketika mempelajari hukum di bangku kuliah, kita tidak pernah mempelajari hukum Islam kecuali hanya sebatas perkenalan tentang hukum pidana Islam, mungkin yang lebih diperhatikan ahkam usrah saja, yang lebih dikenal dengan sebutan ahwal syaksiyyah (meskipun istilah ini tidak lebih baik dari istilah ahkam usrah). Hukum ini ditinggal karena tidak diterapkan, tidak diterapkan karena memang masayarakat tidak paham tentang hukum itu .

Akhir-akhir ini para fuqaha memfokuskan diri kepada bidang ekonomi Islam, karena begitu besar perhatian umat dalam hal ini, maka banyak ijtihad-ijtihad baru yang muncul dlam bidang muamalah maliyyah Islamiyyah, yang setiap hari “menyesuaikan” diri dengan praktik ekonomi Barat. Padahal pakar fiqh lama tidak pernah mengenal sistem ekonomi modern dan bahkan tidak pernah menulisnya dalam karya mereka, tetapi para pakar hukum Islam hari ini terus mengkaji ekonomi Islam sehingga mereka menemukan rumusan-rumusan praktek ekonomi modern dalam kitab-kitab klasik yang meskipun tidak “suci”, tetapi bernilai ilmiyyah dalam pandangan hukum Islam, karena yang “suci” hanya quran dan hadist.
Dan saya kira begitu juga den
gan hukum pidana Islam, kurangnya perhatian umat terhadap hukum pidana itu yang menyebabkan stagnansi yang sangat memprihatinkan dalam hukum pidana Islam. Seandainya studi dan kajian terhadap hukum itu terus intensif dan kontinyu seperti kajian hukum muamalah, saya yakin hukum pidana Islam akan lebih “digandrungi” untuk dipakai sebagai KUHP dalam negara, baik itu muslim maupun non-muslim. Tetapi, sayangnya kita hanya mendapatkan hukum pidana Islam itu adalah hasil “ramuan” berabad-abad lalu, yang mungkin kondisi dan keterbatasan mereka (Rahimahumullah Ajmai’in) yang membuat banyak hukumnya terlihat “kaku” dan tidak “relevan” diterapkan.

Contohnya saja hukuman mati terhadap kejahatan Riddah, Riddah adalah keluarnya seorang Muslim dari agama Islam dengan perbuatan atau perkataan. Kriminalisasi riddah ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat al baqarah ayat 217, “Barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulash penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya selamanya”. Dan firmanNya dalam Surat Ali Imran ayat 86-89, an Nisa ayat 137, dan al Haj ayat 11.
Mayoritas ahli hukum Islam mengatakan bahwa apabila telah terbukti riddah pada seorang Muslim, dan telah diajak bertaubat tetapi tidak juga bertaubat, maka orang tersebut dihukum dengan hukuman mati, baik laki-laki maupun wanita, ulama mazhab Hanafi dan Syiah Imamiah mengatakan bahwa wanita tidak dihukum mati, tetapi dipenjara saja, ada satu lagi pendapat Imam Ibrahim Nakh’i dan Imam Sofyan Tsaury, bahwa orang murtad tidak dihukum mati, tetapi disuruh taubat sampai dia taubat dan kembali ke Islam.

Para pakar hukum Islam mengambil hukuman mati atas kejahatan riddah dari 3 Hadis. Hadis Ukal dan Urainah, Hadis yang menghalalkan darah mukmin, diriwayatkan dari sayyidah Aisyah,dan Hadis riwayat Ibnu Abbas, “Siapa yang mengganti/berpindah agamanya, maka bunuhlah dia”.
Quran sendiri diam terhadap hukuman orang yang murtad di dunia, Quran menjanjikan neraka bagi mereka kelak di akhirat. Tetapi ulama-ulama mengambil hukum dari Hadis yang telah kita sebutkan di atas dan menyatakan seorang yang murtad dihukum mati karena kejahatan riddahnya.

Kita semua sudah sepakat dalam hal kriminalisasi riddah, dan begitu yang ditetapkan oleh fiqh Islami, tetapi kita mendapat sedikit keragu-raguan dalam penerapan hukuman mati dengan semata karena riddah dan kriminal ini termasuk dalam hudud, qaidah “dar’ul hudud bisyyubhat” yang dipakai oleh semua mazhab hukum Islam membuat keragu-raguan bertambah besar.
Mantan syeikhul Azhar Syeikh Mahmud Syaltut, dalam bukunya “Al Islam Aqidah wa Syariah” mengatakan, “ Pendapat bahwa hukuman untuk kejahatan riddah adalah hukuman mati sedikit berubah ketika kita melihat kembali pernyataan ulama-ulama kita bahwa hukuman hudud tidak bisa ditetapkan dengan bersandar kepada Hadis ahad, dan kekufuran itu sendiri bukan penyebab dihalalkan darah seseorang, sebenarnya yang menghalalkan darah seseorang itu tindakan agresif dan invansinya terhadap Islam dan Muslimin, dan usaha-usaha konspirasi terhadap umat Islam, kita juga mempertimbangkan bahwa dalam banyak ayat Quran melarang pemaksaan beragama”. Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Salam Madkur sebagaimana disadur oleh ustazuna Syeikh Wahbah Zuhaily dalam disertasinya, bahwa hukuman mati terhadap pelaku kejahtan Riddah lebih cenderung karena sebab politis, bukan religius. Selama permasalahan menyangkut dengan politis maka bisa saja hukuman berubah sesuai maslahat yang dilihat oleh Hakim .

Ini adalah salah satu contoh dalam penerapan hukuman yang selama ini dianggap “tidak boleh dilanggar”, belum lagi masalah Hukum Acara Pidana yang bersifat teknis yang bisa kapan saja berubah. Ternyata ketika kita melihat lebih dalam tentang hukum pidana Islam, kita menemukan banyak hal yang perlu dikaji ulang.

Kita bisa membagi hukum Islam secara global dalam 5 hukum, Ibadah, Muamalah (Ekonomi dan Politik), Ahkam Usrah (Hukum Keluarga), Jinayah (Hukum Pidana), dan Itq (Perbudakan). Dalam urutan penulisan hukum Islam metode klasik semua fuqaha meletakkan “Undang-undang Perbudakan” di bab terakhir, dan mayoritas mereka meletakkan “Hukum Pidana” sebelum undang-undang perbudakan. Hari ini hampir tidak ada lagi yang mengkaji undang-undang perbudakan, meskipun hanya sekedar kajian untuk melihat betapa agung dan betapa “cerdasnya” para pakar hukum Islam dulu dalam meramu hukum yang diintisarikan dari Quran dan Hadis, dan bab itu bisa dikatakan “omitted” dari hukum Islam, dengan alasan “tidak diterapkan”. Dan hal serupa mulai dialami oleh “hukum pidana”, sedikit-sedikit dia mulai dimarginalkan dan terisolasi dari tatanan hukum Islam. Hanya ibadah, ahkam usrah, dan sebagian muamalah yang masih diterapkan. Kalau kita masih seperti ini, selalu mengharapkan orang lain yang membuat hukum untuk mengatur kita dan kita “cuek-cuek bebek” terhadap hukum Islam yang merupakan “amanah” Tuhan kepada kita, tunggu saja suatu hari hanya “sebagian” ibadah yang dilakukan di muka bumi.

Dari 5 pembagian hukum di atas, hanya ibadah yang merupakan “tugas individu”, selain itu adalah kepentingan sosial. Lihatlah betapa Islam memberikan perhatian kepada permasalahan sosial, tetapi kenapa masih banyak diantara kita yang masih mengedepanakan egosime, pribadi dan golongan? Afala Ta’qiluun???. Wallahu a’alam.


WRITTEN BY:
H. Saifannur, Lc
(Mahasiswa Aceh yang Sedang Melanjutkan Program S-2 Di Damascus University Syiria)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS