RSS

Perlukah Peresmian Qanun Jinayat di Aceh saat ini?

S

udah beberapa tahun penerapan Hukum Islam di Aceh, dan hasilnya apa yang kita lihat saat ini, ada yang optimis bahwa undang-undang itu bisa survive dan ada sebagian lagi yang pesimis akan hal itu. Bisa dikatakan bahwa mundur dan menon-aktifkan undang-undang itu dan kembali ke undang-undang Belanda adalah tindakan yang sangat riskan, karena secara tidak langsung kita telah mendhalimi Hukum Allah. Kita telah membuktikan bahwa hukum Islam memang tidak pantas diterapkan hari ini, dan telah terbukti dari apa yang kita laksanakan. Jadi opsi untuk mundur tidak mungkin dipilih, sedangkan untuk meneruskan banyak hal yang dikhawatirkan, antara lain “tidak” siapnya masyarakat dengan penerapan ini, seakan ada public shock ketika undang-undang ini diterapkan. Semua terjadi karena memang masyarakat kita itu masih belum sampai level itu, karena telah lama “bergumul” dalam kehidupan yang tidak dibatasi ketat oleh hukum-hukum agama, kurangnya pemahaman terhadap Agama yang membuat itu semua meraja di lingkungan kita. Mengutip istilah Syeikh Badruddin Hassun, Mufti Suriah, bahwa masyarakat kita saat ini adalah Mujtama’ Dha’ik (Masyarakat yang kehilangan jati diri -Ubudiyyah-), jadi tugas utama sebagai prakondisi untuk itu adalah mengembalikan jati diri muslim yang telah lama gentayangan, apabila jati diri muslim itu telah kembali, maka seorang muslim itu akan datang ke Pengadilan untuk minta dihukum karena kesalahan yang dia lakukan, tanpa dikejar-kejar oleh aparat. Begitulah yang terjadi pada beberapa kasus penerapan cambuk dan rajam pada zaman Rasulullah.

Orang dulu mengatakan “ Nasi telah jadi bubur”, sebuah ungkapan untuk mengekspresikan sebuah perbuatan yang terlanjur dilakukan dan kini dihampiri penyesalan. Mungkin ungkapan itu (menurut sebagian orang) cocok bagi fenomena penerapan hukum Islam dalam masyarakat kita. Namum, saya mengatakan bahwa hari ini ungkapan tersebut tidak bernilai lagi. Kalau nasi telah menajdi bubur, kita tidak harus membuang adonan itu, tapi masih bisa kita manfaatkan, bubur itu kita beri sedikit bumbu dan kita campur dengan ayam, jadilah bubur ayam yang lebih lezat dari pada nasi. Apa yang saya maksud dari ini semua? Keputusan yang terlanjur diambil untuk menerapkan hukum Islam di tengah masyarakat yang tidak stabil itu adalah kesalahan besar. Pengalaman yang kita lihat dari sebuah propinsi di Nigeria yang menerapkan hukum Islam sebagai ganti Code Penal Perancis adalah sangat menyesakkan dada. Negara miskin yang penduduknya belum tentu bisa makan 2 kali sehari ingin memotong tangan pencuri. Akhirnya penduduk propinsi yang tidak tahan dengan keadaan itu kabur ke propinsi lain yang mayoritas Kristen, bayangkan kalau mereka semua berpindah agama cuma gara-gara sebagian orang yang ambisius ingin penerapan potong tangan pencuri, maka siapa yang yang bertanggungjawab atas musibah itu? Melihat betapa berharganya Islamnya seorang manusia, saat itu Rasulullah berkata kepada Ali Bin Abi Thalib, “Seandainya seorang manusia mendapat hidayah Allah (masuk Islam) melalui tanganmu, maka itu lebih baik bagimu dari dunia dan isinya”, jadi apa hukuman bagi orang yang menjauhkan manusia dari Islam?apa lagi mengeluarkan dari Islam dengan perbuatannya?. Maka sebelum kita tuntut Pak Irwandi menandatangani Undang-undang itu, mari kita siapkan dulu komunitas yang siap menerima semua itu, pengalaman Rasulullah sendiri bisa kita lihat, 10 tahun setelah Negara Islam Madinah berdiri baru diterapkan hukum cambuk dan rajam, padahal saat itu yang menghuni Madinah adalah manusia-manusia yang dikatakan Allah secara langsung “Kuntum Khaira Ummatin” Ummat pilihan dan terbaik.
Kalau kita pelajari metode politik Coup de etat (kudeta), pada saat kita memprovokasi ide-ide itu, kita harus sudah mempersiapkan kabinet yang pada suatu saat apabila kabinet lama jatuh, langsung bisa kita isi dengan kabinet baru, tanpa terjadi Vacum of Power dalam pemerintahan. Sejak tahun 60-an para Endatu kita telah berjuang menuntut penerapan hukum Islam di negeri kita, tapi baru 45 tahun kemudian terealisasi. Kesalahan kita adalah menyai-nyiakan 45 tahun itu. Seharusnya 45 tahun itu cukup untuk mempersiapkan generasi yang Islami (Dream Citizen) yang bisa menerapkan hukum-hukum itu tanpa pakasaan, tapi karena Iman dan Ubudiyyahnya kepada Allah. Mungkin negara kita selalu dalam konflik selama 45 tahun itu, tapi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa kaderisasi generasi terhambat. Jadi, karena sekarang telah diketok palu peresmian penerapan hukum Islam, maka pekerjaan kita bertambah, Pertama mengawal hukum itu dengan menjaga “kehormatan”nya, dan Kedua menciptakan generasi ideal.
Sayyidina Umar pernah berkata, “ Tegakkanlah Syariat dalam dirimu, maka dia akan tegak di negaramu”. Sebuah ungkapan luar biasa yang telah beliau buktikan sendiri, dan ditegaskan kembali oleh Umar II, yaitu Umar Bin Abdul Aziz pada masa dinasti Umayyah di Damascus. Kesalahan kembali muncul saat kita saling menyalahkan, masyarakat menyalahkan pemerintah dan aparat-aparatnya yang tidak becus memimpin, pemerintah menyalahkan masyarakat yang tidak patuh pada aturan, mahasiswa menyalahkan Ulama-ulama yang tidak bisa menjadi pembimbing rohani bagi masyarakat, akhirnya mata rantai saling menyalahkan berputar terus, kenapa tidak ada satu orang yang memotong mata rantai itu dengan mengatakan, “ Ini salah saya, jadi saya harus introspeksi diri, kalau saya introspeksi diri, saya yakin semua akan menjadi lebih baik”.
Yang diperlukan saat ini adalah saling mendukung dan memainkan peran masing-masing sebaik-baiknya. Ulama-ulama yang notabenenya pemimpin spiritual masyarakat agar memainkan peran itu sebaik mungkin, Petani yang notabenenya produsen pangan agar memaksimalkan perannya dengan bantuan pemerintah, mahasiswa yang notabenenya cermin negara hari esok agar berjalan dalam koridor posisinya saat ini, yaitu belajar dan belajar, bukan demonstrasi.
Kadang-kadang saya setuju dengan pendapat DR.Abdullahi, tokoh Liberal Sudan yang mengatakan “Negara Sekuler Ok, Rakyat Sekuler No!”. Jadi, untuk meraih kemakmuran dan masyarakat yang ideal, tidak hanya dengan membuat undang-undang cambuk dna rajam (kita tidak menafikan itu bernilai Ibadah dan sangat mendukung), namun selain itu mimpi tersebut bisa diraih dengan “Kesadaran Bersama”. Kita tidak mau berbicara teori macam-macam, kita ingin yang kita katakan itu bisa terealisasi dalam kehidupan nyata. Saya katakan itu bukan teori, tapi telah dipraktekkan, dan berhasil.
Sebut saja salah satu negara Arab yang begitu keras menentang Israel dan Amerika dan mengalami embargo ekonomi selama bertahun-tahun, yaitu Republik Arab Suriah, yang beribukota Damascus. Saya telah bermukim lebih dari tiga tahun di sana, saya melihat bagaimana perang Israel-Libanon, saya melihat Perang Israel- HAMAS, dan saya merasakan embargo ekonomi yang dialami Suriah. Kalau saya ditanyakan apa kelebihan negara itu? Saya akan mengatakan “Di sana ada keamanan yang tidak saya temukan di tempat lain”. Sistem pemerintahan Suriah adalah sosialis, bahkan bisa dikatakan hampir semua “pemimpin” mereka dari Partai Baats itu anti Islam. Semua undang-undang mereka berasal dari Code Penal Perancis, kecuali sebagian besar Hukum Perdata yang diambil dari Fiqh Islami Mazhab Hanafi. Ada 3 hal yang saya perhatikan dan mungkin bisa kita terapkan dalam komunitas kita:

1. Aktivitas Masjid: Masjid benar-benar memainkan perannya seperti yang seharusnya, ribuan masjid di kota Damascus dijadikan tempat “penerapan dan pengkajian hukum-hukum Islam”. Masjid-masjid benar-benar menjadi sentral agama Islam, meskipun undang-undang mereka bukan berasal dari Fiqh Islami, namun Fiqh Islami itu tercermin dalam tingkah laku mereka. Dari masjid-masjid itu para Ulama mengontrol umat, anda bisa menemukan pengajian di masjid manapun anda kunjungi setelah ashar dan maghrib. Anda akan menemukan ulama sekaliber dunia seperti Syeikh Wahbah Zuhaily dan Syeikh Saed Ramadhan al-Buty duduk memberikan pengajian agama Islam, baik itu pengajian Ilmiyyah ataupun Tazkiyah Nafs dan Mau’idhah. Melalui metode ini para ulama bisa mengontrol syariah Islamiyyah bisa berjalan dalam masyarakat tanpa tertulis resmi dalam undang-undang. Setiap individu benar-benar memainkan perannya, pedangan tidak curang, sopir taksi tidak berbohong, mahasiswa tidak demonstrasi, ulama tidak “berdagang” dengan nama agama, dengan itu peran sebagian pemerintah yang tidak suka Islam tidak mempengaruhi masyarakat, pemikiran-pemikiran “nyeleneh” tidak bergaung dalam masyarakat, padahal Muhammad Syahrur yang menjadi kiblat kaum Liberal di Indonesia mengajar di Universitas Damascus dimana kita belajar saat ini, namun tidak ada yang peduli, mereka tahu dia cuma mencari popularitas. Setiap ada isu “nyeleneh” dengan serta-merta masjid meluruskan, karena memang setiap hari masyarakat bertemu dan saling berbagi di masjid. Untuk mengadakan pengajian itu, setiap Syeikh itu harus minta izin resmi dari kementrian Awqaf (Kementrian Agama), dan tidak semua orang berhasil mendapatkan itu, tapi mereka tetap berjuang. Semoga hal demikian bisa terealisasi di negeri kita yang begitu mendukung aktivitas keislaman. Dalam hal ini, semua tergantung tergantung kepada yang memiliki kartu AS disini, yaitu para Tengku, cendikiawan muslim dan pelajar-pelajar Agama.

2. Hukuman yang tegas: Dalam poin ini mungkin akan mendukung penanda-tanganan Qanun Jinayat di negeri kita. Hukuman memang harus tegas dan menjerakan, dalam al-Quran sendiri Allah menyebutkan kata-kata al-Hadid(Besi, sebagai lambang keras dan tegas) setelah menyebutkan “keadilan” dan “pemberian hak-hak sesama”. Apa yang terjadi di Suriah dalam hal ini? Pemerintah tidak segan-segan menghukum siapapun apabila dia melanggar Undang-undang, tidak ada toleransi bagi pelanggaran Hukum, mottonya “Siyadatul Qanun Fauqal Kull” (Kedaulatan dan Kehormatan Hukum di atas segalanya). Untuk meraih itu, lagi-lagi kita butuh prakondisi menciptakan lingkungan yang jujur dan bertanggungjawab.

3. Opini Umum yang bersih: Saya tidak menafikan adanya maksiat dan pelanggaran dalam masyarakat di komunitas itu, anda bisa melihat toko minuman keras berjejeran sepanjang 500 meter di terminal Pusat Sumariah di Ujung kota Damascus, anda juga bisa menemukan daerah prostitusi di daerah Masakin di pinggiran kota Damascus, anda juga bisa menemukan DVD porno dijual bebas di pinggiran jalan, anda juga bisa menemukan diskotik dan tempat-tempat penari strip tease dari Ukraina, Rusia dan negara Eropa timur lain di tengah kota Damascus, banyak juga sipil bersenjata, tapi itu semua di bawah pengawasan ketat dari pemerintah, sehingga semua kejahatan yang terjadi selalu bisa terjaga dari terbentuknya opini umum yang salah dalam masyarakat.

Jarang kita temukan berita kriminal di koran-koran dan majalah, apalagi acara-acara seperti Buser, Silet, Kabar-Kabari, Cek n Ricek dan lain-lain yang menyebarkan opini umum yang merusak dalam masyarakat. Hal demikian sangat bertentangan dengan “Mabda’ Tasattur” (Prinsip menutupi kriminal untuk menjaga kebersihan opini umum) dalam Islam. Dalam sebuah hadis Rasulullah mengecam keras perbuatan itu, beliau mengatakan bahwa orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang berbuat dosa pada malam hari, besok paginya Allah menutup kejahatannya itu, tetapi dia sendiri malah menyebarkan kejahatan itu dengan menceritakan kepada orang lain, itu resiko bagi yang menyebarkan kesalahan sendiri, bagaimana dengan yang menyebarkan kesalahan dan aib orang lain dengan mengeksposenya di media massa?

Semua sudah capek dengan kritikan, dan yang mengkritik juga sudah bosan, apalagi yang dikritik!. Saya mencoba memberikan sedikit solusi semoga bisa memperkaya ide-ide para aktivis dakwah dan pemerhati masalah sosial di negeri kita meskipun sedikit. Wallahu A’lam.


WRITTEN BY:
H. Saifannur, Lc
(Mahasiswa Aceh yang Sedang Melanjutkan Program S-2 Di Damascus University Syiria)

Related Posts by Categories

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Silahkan Anda Memberikan Komentar Mengenai tulisan saya pada Kotak Komentar di Bawah