RSS

Antara Kitab dan Sunnah, ada Bid’ah

Posisi Kitab dalam Islam

S

ejak pertama Islam lahir, Allah sudah mendeklarasikan Islam itu bersifat komprehensif dan universal dalam segala ruang dan waktu. Sifat itulah yang membuat Islam itu pantas untuk bertahan di panggung dunia, misi dan tanggungjawab Islam tidak akan berakhir selama manusia masih ada di muka bumi sebagai objek “ibtila”.

Ketika Allah menciptakan manusia sebagai objek “ibtila”, Allah selalu saja mengutus seorang nabi dan sebuah Kitab atau suhuf yang berupa tuntunan, dari fenomena ini kita bisa menyimpulkan bahwa belajar memang butuh guru, tidak hanya cukup dengan membaca buku secara otodidak. Kitab yang dikirim itu selalu saja “direvisi” dari generasi ke generasi sesuai kebutuhan masyarakatnya.

Zabur berisi doa dan pujian-pujian, Taurat Kitab berisi hukum yang begitu tegas dan keras sebelum diutak-atik oleh “tangan-tangan” setan, Injil pun demikian sebelum diutak-atik berisi hukum dan ajaran toleransi dalam pergaulan sesama manusia, dan terakhir Quran, Allah melengkapi Kitab itu dengan pujian, doa, hukum, ajaran dalam bermuamalat dan akhlak, nabi Muhammad menegaskan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”, bisa kita katakan Quran itu revised-edition dari semua Kitab suci sebelumnya, dan revisi ini sudah final, tidak bisa direvisi lagi dengan ditutupnya pintu nubuwwah dengan wafatnya nabi Muhammad sallallahualaihi wasallam.
Quran adalah Kitab suci semua umat manusia, bukan hanya umat Islam. Quran diturunkan secara berangsur dengan berbagai hikmah dibalik itu. Sahabat Ibnu Mas’ud mengatakan, “ Tidak ada ayat yang turun kecuali aku mengetahui sebab nuzulnya”. Statement ini tidak berarti bahwa semua ayat Quran itu turun dan punya sebab nuzulnya, tetapi semua ayat yang turun kalau dia punya sebab nuzulnya, maka Ibnu Mas’ud tahu sebabnya .

Allah telah berjanji akan menjaga kesucian dan kebenaran Quran itu sampai hari Akhir nanti dari “tangan-tangan setan”, Dia berjanji akan menjaganya, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Quran, dan kami yang akan bertanggungjawab menjaganya”. Kita tidak usah khawatir terhadap eksistensi Quran, meskipun seluruh dunia sepakat mau membakar dan menginjak-injak Quran, apalagi cuma menafsirkannya dengan dengan tafsiran macam-macam. 100 mushaf Quran dibakar di Amerika, 100.000 manusia penasaran mau membaca apa isi Quran yang sampai membuat sekelompok orang “gila” bernafsu membakarnya. Kalau Allah sendiri yang berjanji menjaganya, maka Allah menggunakan “tentaraNya” di dunia sebagai perantara (Maha Suci Allah, Dia tidak butuh kepada tentara), dengan tujuan membuka pintu surga buat kita, makanya kita yang harus selalu berusaha untuk menjadi “tentara” Allah di muka bumi dengan kapasitas masing-masing pastinya, membaca Quran, menghadiahkannya kepada orang lain, menghapalnya dan mengamalkan isinya, semua itu adalah bentuk khidmah kita kepada Quran, dan dengan itu kita telah mendapat nomor registrasi sebagai tentara Allah di muka bumi.
Dengan ini, kita semua sepakat bahwa Quran adalah Kitab tuntunan, yang berisis undang-undang, peta di dunia untuk sampai ke negeri Akhirat dengan selamat. Kalau kita sudah sepakat, maka kita harus bertindak berdasarkan tuntunannya, karena dia guide yang akan membimbing kita sampai ke tujuan.

Posisi Sunnah dalam Islam
Quran adalah guide utama, maka guide ke dua adalah Sunnah, kita katakan guide ke dua bukan berarti mereka terpisah satu sama lain, tetapi antara kita dan Sunnah ada relasi yang kongkrit dan akurat, yang tidak bisa dipisahkan, bisa kita katakan Sunnah adalah asisten Kitab dalam menjalankan tugasnya, dan ini juga bukan berarti Kitab tidak sempurna sehingga perlu pelengkap, tetapi Sunnah adalah penjelas hal-hal yang global dalam Kitab, Sunnah adalah contoh praktis dari undang-undang yang tertuang dalam Kitab (surat Al Nahl ayat 44 dan 64) .

Quran menyuruh kita shalat, tetapi tidak menjelaskan detailnya rakaat, syarat sah dan apa saja yang membatalkan shalat, Quran menjelaskan tentang perekonomian, politik internasional, hubungan antar negara pada masa damai dan masa perang, tetapi praktek dan detailnya kita tahu dari Sunnah Rasulullah.

Sunnah itu sendiri bisa dikatakan “Segala perkataan, perbuatan, dan statmen persetujuan Rasulullah atas perbuatan dan perkataan para sahabatnya saat beliau mengetahuinya” .
Rasulullah dalam banyak hadits menyuruh kita untuk selalu berpegang pada Sunnahnya, antara lain:
1. “Berpeganglah kalian pada Sunnahku dan Sunnah-Sunnah Khalifah Rasyidin setelah aku”.( HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah)
2. “Sesunggguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah dan hadits Rasulullah, dan seburuk-buruk perkataan adalah yang bid’ah-bid’ah”. (HR. Muslim)
3. “Orang yang berpegang pada Sunnahku pada saat dunia sedang rusak, pahalanya seperti orang mati syahid”. ( HR. Thabrani)

Sunnah sendiri yang berupa perbuatan dan tingkah laku nabi (af’al rasulillah), terbagi ke dalam beberapa pembagian sesuai kapasitas kandungan hukumnya .
1. Af’al Jibilliyah, perbuatan yang berupa kebiasaan beliau sebagai seorang manusia, seperti duduk, berdiri, berjalan, tidur, dan sebagainya. Untuk jenis ini kita tidak diwajibkan mengikutinya, kecuali kalau disuruh dengan dalil tertentu.

2. Perbuatan yang jelas itu adalah khusus untuk nabi saja, seperti kewajiban shalat dhuha, witir dan tahajud, dan boleh bersitri lebih dari 4. Untuk jenis ini kita tidak diperbolehkan mengikutinya.

3. Perbuatan selain dua jenis di atas, yang berkapasitas tasyri’ (legislative). Untuk jenis ini kita dituntut untuk mengikutinya, adapun status tuntutan itu wajib atau sunat, itu tergantung pada jenis Sunnahnya .

Sumber utama legislasi hukum Islam
Setelah kita paparkan tentang Kitab, Sunnah dan relasi antara keduanya, kita sampai pada kesimpulan bahwa hukum Islam itu berdasarkan dan bersumber pada dua sumber itu, yaitu Kitab dan Sunnah, adapun sumber lain baik yang disepakati ulama umat ini maupun yang diperdebatkan seperti ijma’(consensus of opinion), qiyas(analogical deduction), istislah(reasoning based on unrestricted interest), istihsan(juristic preference equity), dan lain-lain, itu semua adalah penjabaran dari Kitab dan Sunnah juga, semuanya bersandar pada Kitab dan Sunnah.

Ada sekelompok orang yang mendakwakan bahwa Quran telah sempurna, kita tidak butuh pada Sunnah, dengan dalih firman Allah dalam surat Al An’am ayat 38, “ Tidak lah kami alpakan sesuatupun dalam Kitab”, dan surat Al Nahl ayat 89, “ Dan kami turunkan kepadamu Quran sebagai penjelasan segala sesuatu”. Ini semua adalah “pemerkosaan” terhadap teks Quran, dakwa yang sekilas terlihat mengajak untuk berpegang teguh pada Quran, padahal dibalik itu ada konspirasi besar untuk meruntuhkan bangunan Islam, karena tidak mungkin menjadikan Quran saja sebagai petunjuk dengan mengacuhkan Sunnah, karena Sunnah itu sendiri wahyu Allah, hanya saja tidak langsung lewat teks seperti Quran, tetapi lewat nabi Muhammad.
Ada bid’ah diantara Kitab dan Sunnah

Fenomena bid’ah banyak menyita perhatian umat akhir-akhir ini, dan fenomena itu (baik disengaja atau tidak) telah berperan besar menjadi salah satu faktor kuat yang merusak persatuan umat Islam. Kita akan memulai pembahasan ini dari satu titik poin yang disepakati oleh umat Islam sejak dulu, yaitu bahwa bid’ah itu “makar” dan salah satu bentuk “kriminalitas” dalam agama, yang wajib dijauhi oleh setiap individu muslim dalam segala lini kehidupannya. Berdasarkan firman Allah dalam surat Syura ayat 21, surat An Nahl ayat 116 dan hadits Sayyidah Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Imam Muslim dalam Kitab Shahih mereka.

Sekarang, kalau kita sudah sepakat di poin itu, kita harus membuat definisi bid’ah yang telah kita sepakati tadi, berdasarkan tuntunan Kitab dan Sunnah, yang akan kita ambil dari hasil penelitian ulama-ulama yang merupakan ahli waris pemilik Sunnah.

Adapun secara bahasa, bid’ah itu berarti sesuatu yang baru, yang belum ada sebelumnya, tetapi disini kita tidak memakai pengertian bahasa, karena terlalu luas dan bukan itu yang dimaksud dalam hadits. Dan jelas secara bahasa bid’ah bisa hasanah, bisa saja sayyi’ah, tetapi kalau bid’ah dalam konteks syariah tidak ada yang hasanah, semuanya akan tunduk di bawah hadits Rasul, “Kullu bid’at dhalalah”.

Ketika kita merujuk pada penelitian ulama-ulama kita terdahulu, kita akan menemukan macam-macam definisi bid’ah, tetapi kalau kita perhatikan semua definisi itu, kita akan menemukan 1 titik poin yang menjadi landasan mereka . Kita akan mengambil definisi yang mungkin paling singkat dan paling “mantiqi” dan rasional, yaitu bid’ah yang didefinisikan oleh Imam Syatiby dalam maha karya beliau “Al I’tisham”, yaitu, “ Perbuatan yang dibuat atas nama Ajaran Agama dengan tujuan ibadah” .

Jadi, jelas bahwa konteks hadits di atas hanya berlaku pada urusan Agama, yang menjadikan urusan bukan bagian dari agama menjadi bagian dari agama, baik itu ibadah maupun aqidah. Kalau kita sudah paham maksud dari bid’ah dalam konteks Syariah, Ada 3 hal penting yang harus kita jelaskan disini:

1. Adat dan kebiasaan.
Apakah disini berlaku rumusan bid’ah? Apakah menyalahi adat dan kebiasaan yang berlaku pada zaman rasul dan sahabat termasuk dalam arti bidah yang diancam dengan neraka?
Para ulama tidak mencapai satu titik sepakat dalam hal ini. Sebagian tidak mau menyalahinya, sebagai bentuk penghormatan dan khidmah mereka kepada pendahulunya, baik dari pakaian maupun cara hidup. Sebagian lagi mengganggap kebiasaan baru yang tumbuh bersama zaman tidak ada hubungannya dengan bid’ah yang dimaksud dalam hadits Nabi, maka seorang muslim boleh saja membuat kebiasaan baru meskipun bertentangan dengan kebiasaan pada masa Nabi, karena pada dasarnya adat itu bukan syariat dan “bukan” sumber hukum dalam agama.
Semua itu bisa kita lihat dari kehidupan para sahabat dan tabi’in, banyak adat dan kebiasaan mereka berubah ketika di Mekah dan di Madinah. Itu semua karena tuntutan zaman dan keadaan. Contohnya memakai cincin, khutbah jumat yang berjalan 8 tahun dengan bersandar pada batang pohon kurma, kemudian berubah pandah ke atas mimbar, itu terjadi pada masa rasulullah, dan contoh lain adalah renovasi masjid nabawi oleh khalifah Usman bin Affan karena tuntutan zaman .

2. Media atau Sarana dalam implementasi makna bid’ah.
Hal kedua adalah media dan sarana, apakah disini juga berlaku bid’ah? Dalam Islam kita mengenal tsawabith (prinsipil) dan mutaghayyirat (variabel), hal-hal yang bersifat prinsipil itu tidak bisa diutak-atik, karena itu adalah esensi dari perintah dan larangan Allah, seperti rukun iman, rukun Islam, kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar dan lain sebagainya.

Tetapi, apakah sarana amar ma’ruf nahi munkar itu termasuk hal prinsipil? Semua ritual ibadah haji adalah prinsipil, seperti melempar jumrah, tetapi apakah tempat melemparnya yang hari ini sudah bertingkat-tingkat termasuk prinsipil? Sehingga melempar jumrah dari lantai 3 termasuk bid’ah?. Orang mau mengingat nabi Muhammad sebagai bukti cinta mereka boleh saja, bahkan disuruh oleh agama, kalau mereka mengingat rasulullah pada hari lahir beliau sebagai hari lahir peradaban baru dengan cara berkumpul dan bersalawat bersama, apakah tindakan itu prinsipil? Sehingga dikatakan bid’ah?, Berzikir itu disuruh, kalau ada orang mau berzikir dan menghitung jumlah zikirnya dengan tasbih, tindakan menghitung pakai tasbih itu termasuk prinsipil atau variable?. Jual beli adalah salah satu cara kita untuk memiliki harta orang lain, dan hari ini sarananya adalah uang, dan Sunnah mewajibkan serah-terima uang itu sebelum kedua pihak berpisah, tetapi hari ini orang-orang membayar pakai credit-card, atau cek, apakah cara serah-terima langsung itu termasuk dalam prinsipil agama atau variabelnya?. Jadi, yang dimasukkan dalam teori rumusan bid’ah di atas adalah esensi ibadah itu, adapun wasilah dan sarananya boleh saja kita ikut perkembangan zaman dan tempat, selama hal itu tidak menyentuh esensi ibadah dan tidak menjadikan wasilah atau sarana itu bagian dari ibadah.

3. Bid’ah hanya berlaku pada Ibadah dan Aqidah.
Ada hadits “Kullu bid’atin dhalalah”, yang punya statemen itu adalah syari’, artinya pembuat syariah, maka konteks pembicaraanya pun konteks syariah, maka untuk memahami konteks itu, kita harus menggunakan metode standar yang telah diatur syariah sendiri. Yaitu penafsirkannya dalam konteks khitab syar’i, adapun hal-hal diluar syariah tidak termasuk. Syariah itu yang mana? Syariah itu adalah semua yang sudah digariskan dalam Kitab dan Sunnah.
Untuk itu, jangan terkecoh dalam memahami antara bid’ah secara bahasa dan bid’ah dalam konteks agama, semua bid’ah dalam konteks agama adalah sesat , seperti yang telah kita jelaskan di atas, adapun bid’ah dalam konteks bahasa, maka sah-sah saja dia dibagi menjadi 2 seperti pembagian Nabi Muhammad dan sayyidina Umar bin Khattab, atau bahkan 5 seperti pembagian Imam Izza bin Abdussalam dalam maha karyanya Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam.

Pencampuran arti bid’ah secara bahasa dan bid’ah dalam konteks syariah, dan pencampuran antara ibadah -yang merupakan esensi agama- dengan adat, sarana dan wasilah yang terus berkembang seiring berkembangnya zaman adalah penyebab tumbuh dan menjamurnya “ngawurisme” dalam memvonis sebuah perbuatan, dan itu menyebabkan perpecahan dalam barisan umat yang seharusnya agama adalah sarana dan perekat untuk kita bersatu. Wallahu a’alam.

Related Posts by Categories

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Silahkan Anda Memberikan Komentar Mengenai tulisan saya pada Kotak Komentar di Bawah