RSS

“Islamisasi” KUHP?

B

anyak orang beranggapan bahwa hukum Islam berbeda sama sekali dengan hukum positif( ) yang selama ini diterapkan di Negara kita dan Negara-negara lainnya di dunia. Ini adalah sebuah pemahaman yang salah yang harus diluruskan, meskipun hukum Islam itu memiliki keistimewaan tersendiri, bukan berarti semua hukum positif yang selama ini berbeda sama sekali dan menyalahi hukum Islam seluruhnya, kalau kita membandingkan antara dua sistem hukum tersebut, kita akan menemukan lebih banyak kesamaan daripada perbedaan.

Sebut saja hukum Perdata (code civile), banyak persamaan antara hukum Islam dengan hukum positif, meskipun ada beberapa poin yang berbeda, hal ini terbukti ketika “Lajnah Istisyarah Ulya” di Kuwait melakukan perubahan hukum dari hukum positif ke hukum Islam, begitu juga yang terjadi di Libya, Yaman, dan Jordania ketika mereka menyusun “Hukum Perdata Arab Bersatu”( ).

Adapun dalam hukum Pidana (code penale), hampir semua “kejahatan ta’zir” sama antara hukum Islam dengan hukum positif, hanya perbedaan tipis terjadi pada “kejahatan hudud”, perbedaan besar terjadi pada “kejahatan qisas”. Dan “kejahatan hudud” serta “kejahatan qisas” tidak mewakili 10 % dari hukum pidana Islam( ). Ketika tidak diterapkan hukuman pidana Islam dalam sebuah Negara kita langsung menganggap bahwa “hukum Islam tidak diterapkan” dan dengan serta merta menganggap Pemerintah Dhalimun Fasiqun Kafirun…, itu sebuah kesalahan besar, karena hukum Islam itu tidak hanya diwakili oleh hukum pidana, yang dikenal dengan “ahkam hudud wal qisas”, tetapi Islam punya ahkam ibadah, ahkam usrah, ahkam muamalah, dan akhlaq. Dari 5 hukum tersebut, hanya ahkam hudud wal qisas yang belum sempurna diterapkan, adapun selain itu Negara sudah mengaturnya dan bahkan menjaganya, mungkin dalam ahkam muamalat hanya riba yang belum dihapus, tapi insyallah akan segera “terhapus”.

Banyak hal positif bisa ditiru dalam perumusan hukum positif Barat, antara lain metode penyusunan lebih sistematis dibanding hukum Islam, dan teori perumusan ini tidak ada salahnya kalau ditiru oleh para pakar hukum Islam, dan menyusun hukum Islam sedemikian rupa dengan mengambil dari berbagai “madrasah fiqhiyyah”. Sebut saja contohnya metode penulisan hukum dalam bentuk pasal dan klasifikasi mantiqi ala hukum positif Barat, yang memudahkan kita menemukan hukum, hal itu telah ditiru oleh pakar hukum Islam pada masa dinasty Ottoman, tetapi hanya dalam Hukum Sipil (Qanun Madani). Adapun contoh lain bisa anda temukan jelas dalam Nadhariyyat Iltizamat Aaammah (Konsep Tanggungjawab dan Perjanjian), bagaimana sistematisnya hukum barat membuat metode perumusan hukum . Kita hanya meniru sistem kerangka yang mereka pakai, tapi kandungan dan sumber hukumnya dari kita sendiri. Maka tidak salah kalau dalam kata pengantar buku “Madkhal Fiqhy Aam” dikatakan, “ Yang Lama (pakar hukum) kita jauh lebih baik dari yang Lama mereka (Barat), tetapi yang lama kita tidak selalu lebih baik dari yang baru mereka” .
Disini saya cuma ingin mengajak para pemerhati hukum Islam agar tidak “menutup mata” terhadap hukum positif yang diterapkan di Negara kita, memang secara agama kita (umat Islam) “diharamkan” menerapkan hukum selain hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, tetapi seperti yang kita lihat dalam hukum positif banyak hal yang mungkin bisa kita ambil, bukan semuanya tidak selaras dengan hukum Islam, tapi paling tidak kemajuan dalam metode kodifikasi yang telah mereka capai bisa kita jadikan rujukan.

Meskipun demikian, tetap saja hukum Islam memiliki nilai plus yang tidak bisa dijadikan lahan komparatif antara hukum Islam dengan hukum positif, salah satunya adalah penerapan hukum dalam Negara berdasarkan syariat Islam adalah cerminan dan implementasi dari ubudiyah kita sebagai umat Islam.
Ketika kita membuat sebuah perbandingan antara dua objek, paling tidak antara dua objek itu harus ada titik temu yang membuat mereka setara, sehingga bisa disandingkan dalam timbangan komparatif. Kalau kita membuat timbangan komparatif antara hukum Islam dengan hukum positif, kita akan menemukan perbedaan besar yang tidak ada titik temu antara dua objek itu, yang satu turun dari langit yang dibuat oleh Maha Hakim, dan yang kedua lahir di bumi dan “diracik” oleh sebagian “otak” penghuni bumi untuk diterapkan ke seluruh “otak” penghuni bumi.

Hukum positif berasal dari hasil buatan sekelompok manusia yang saat dibuat hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka, seiring kemajuan sosial, akhlak dan banyaknya manusia, hukum tersebutpun bertambah besar. Bisa dikatakan bahwa hukum positif itu lahir bagaikan bayi yang kemudian besar bersama waktu, dan suatu hati akan tua dan tidak pantas untuk diterapkan lagi, dan akan lahir hukum positif yang baru( ).

Hukum positif itu tumbuh dari sebuah keluarga yang kemudian terbentuk suku dan pada hari ini tumbuh menjadi sebuah Negara, jadi hukum positif itu berbeda dari satu Negara ke Negara yang lain. Sejak abad 18 banyak Negara yang sudah menyamakan hukum yang mereka terapkan, semua itu sukses dibawah tangan para filosof dan sosiolog-sosiolog Perancis, Jerman dan lainnya di Eropa. Meskipun demikian, tetap saja kita temukan perbedaan pada setiap hukum itu, kita bisa menemukan berbagai aliran mazhab hukum mereka.

Adapun hukum Islam tidak demikian, dia terlahir dengan sempurna, dan selalu akan sempurna dan tidak akan berubah sampai hari akhirat. Dia sudah baku dan tidak bisa “diutak-atik” lagi, meskipun dia bisa menyesuaikan diri dengan zaman karena sifat universal dan komprehensif yang dimilikinya.
Disini saya ingin menekankan di hukum pidana saja, karena hukum pidana atau fiqh jinayat memang sudah dimarginalkan, tidak hanya oleh para “pahlawan” hukum positif, tetapi juga oleh umat Islam sendiri, dengan alasan “tidak diterapkan”!. Kami (bukan kita) menyadari itu ketika mempelajari hukum di bangku kuliah, kita tidak pernah mempelajari hukum Islam kecuali hanya sebatas perkenalan tentang hukum pidana Islam, mungkin yang lebih diperhatikan ahkam usrah saja, yang lebih dikenal dengan sebutan ahwal syaksiyyah (meskipun istilah ini tidak lebih baik dari istilah ahkam usrah). Hukum ini ditinggal karena tidak diterapkan, tidak diterapkan karena memang masayarakat tidak paham tentang hukum itu .

Akhir-akhir ini para fuqaha memfokuskan diri kepada bidang ekonomi Islam, karena begitu besar perhatian umat dalam hal ini, maka banyak ijtihad-ijtihad baru yang muncul dlam bidang muamalah maliyyah Islamiyyah, yang setiap hari “menyesuaikan” diri dengan praktik ekonomi Barat. Padahal pakar fiqh lama tidak pernah mengenal sistem ekonomi modern dan bahkan tidak pernah menulisnya dalam karya mereka, tetapi para pakar hukum Islam hari ini terus mengkaji ekonomi Islam sehingga mereka menemukan rumusan-rumusan praktek ekonomi modern dalam kitab-kitab klasik yang meskipun tidak “suci”, tetapi bernilai ilmiyyah dalam pandangan hukum Islam, karena yang “suci” hanya quran dan hadist.
Dan saya kira begitu juga den
gan hukum pidana Islam, kurangnya perhatian umat terhadap hukum pidana itu yang menyebabkan stagnansi yang sangat memprihatinkan dalam hukum pidana Islam. Seandainya studi dan kajian terhadap hukum itu terus intensif dan kontinyu seperti kajian hukum muamalah, saya yakin hukum pidana Islam akan lebih “digandrungi” untuk dipakai sebagai KUHP dalam negara, baik itu muslim maupun non-muslim. Tetapi, sayangnya kita hanya mendapatkan hukum pidana Islam itu adalah hasil “ramuan” berabad-abad lalu, yang mungkin kondisi dan keterbatasan mereka (Rahimahumullah Ajmai’in) yang membuat banyak hukumnya terlihat “kaku” dan tidak “relevan” diterapkan.

Contohnya saja hukuman mati terhadap kejahatan Riddah, Riddah adalah keluarnya seorang Muslim dari agama Islam dengan perbuatan atau perkataan. Kriminalisasi riddah ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat al baqarah ayat 217, “Barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulash penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya selamanya”. Dan firmanNya dalam Surat Ali Imran ayat 86-89, an Nisa ayat 137, dan al Haj ayat 11.
Mayoritas ahli hukum Islam mengatakan bahwa apabila telah terbukti riddah pada seorang Muslim, dan telah diajak bertaubat tetapi tidak juga bertaubat, maka orang tersebut dihukum dengan hukuman mati, baik laki-laki maupun wanita, ulama mazhab Hanafi dan Syiah Imamiah mengatakan bahwa wanita tidak dihukum mati, tetapi dipenjara saja, ada satu lagi pendapat Imam Ibrahim Nakh’i dan Imam Sofyan Tsaury, bahwa orang murtad tidak dihukum mati, tetapi disuruh taubat sampai dia taubat dan kembali ke Islam.

Para pakar hukum Islam mengambil hukuman mati atas kejahatan riddah dari 3 Hadis. Hadis Ukal dan Urainah, Hadis yang menghalalkan darah mukmin, diriwayatkan dari sayyidah Aisyah,dan Hadis riwayat Ibnu Abbas, “Siapa yang mengganti/berpindah agamanya, maka bunuhlah dia”.
Quran sendiri diam terhadap hukuman orang yang murtad di dunia, Quran menjanjikan neraka bagi mereka kelak di akhirat. Tetapi ulama-ulama mengambil hukum dari Hadis yang telah kita sebutkan di atas dan menyatakan seorang yang murtad dihukum mati karena kejahatan riddahnya.

Kita semua sudah sepakat dalam hal kriminalisasi riddah, dan begitu yang ditetapkan oleh fiqh Islami, tetapi kita mendapat sedikit keragu-raguan dalam penerapan hukuman mati dengan semata karena riddah dan kriminal ini termasuk dalam hudud, qaidah “dar’ul hudud bisyyubhat” yang dipakai oleh semua mazhab hukum Islam membuat keragu-raguan bertambah besar.
Mantan syeikhul Azhar Syeikh Mahmud Syaltut, dalam bukunya “Al Islam Aqidah wa Syariah” mengatakan, “ Pendapat bahwa hukuman untuk kejahatan riddah adalah hukuman mati sedikit berubah ketika kita melihat kembali pernyataan ulama-ulama kita bahwa hukuman hudud tidak bisa ditetapkan dengan bersandar kepada Hadis ahad, dan kekufuran itu sendiri bukan penyebab dihalalkan darah seseorang, sebenarnya yang menghalalkan darah seseorang itu tindakan agresif dan invansinya terhadap Islam dan Muslimin, dan usaha-usaha konspirasi terhadap umat Islam, kita juga mempertimbangkan bahwa dalam banyak ayat Quran melarang pemaksaan beragama”. Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Salam Madkur sebagaimana disadur oleh ustazuna Syeikh Wahbah Zuhaily dalam disertasinya, bahwa hukuman mati terhadap pelaku kejahtan Riddah lebih cenderung karena sebab politis, bukan religius. Selama permasalahan menyangkut dengan politis maka bisa saja hukuman berubah sesuai maslahat yang dilihat oleh Hakim .

Ini adalah salah satu contoh dalam penerapan hukuman yang selama ini dianggap “tidak boleh dilanggar”, belum lagi masalah Hukum Acara Pidana yang bersifat teknis yang bisa kapan saja berubah. Ternyata ketika kita melihat lebih dalam tentang hukum pidana Islam, kita menemukan banyak hal yang perlu dikaji ulang.

Kita bisa membagi hukum Islam secara global dalam 5 hukum, Ibadah, Muamalah (Ekonomi dan Politik), Ahkam Usrah (Hukum Keluarga), Jinayah (Hukum Pidana), dan Itq (Perbudakan). Dalam urutan penulisan hukum Islam metode klasik semua fuqaha meletakkan “Undang-undang Perbudakan” di bab terakhir, dan mayoritas mereka meletakkan “Hukum Pidana” sebelum undang-undang perbudakan. Hari ini hampir tidak ada lagi yang mengkaji undang-undang perbudakan, meskipun hanya sekedar kajian untuk melihat betapa agung dan betapa “cerdasnya” para pakar hukum Islam dulu dalam meramu hukum yang diintisarikan dari Quran dan Hadis, dan bab itu bisa dikatakan “omitted” dari hukum Islam, dengan alasan “tidak diterapkan”. Dan hal serupa mulai dialami oleh “hukum pidana”, sedikit-sedikit dia mulai dimarginalkan dan terisolasi dari tatanan hukum Islam. Hanya ibadah, ahkam usrah, dan sebagian muamalah yang masih diterapkan. Kalau kita masih seperti ini, selalu mengharapkan orang lain yang membuat hukum untuk mengatur kita dan kita “cuek-cuek bebek” terhadap hukum Islam yang merupakan “amanah” Tuhan kepada kita, tunggu saja suatu hari hanya “sebagian” ibadah yang dilakukan di muka bumi.

Dari 5 pembagian hukum di atas, hanya ibadah yang merupakan “tugas individu”, selain itu adalah kepentingan sosial. Lihatlah betapa Islam memberikan perhatian kepada permasalahan sosial, tetapi kenapa masih banyak diantara kita yang masih mengedepanakan egosime, pribadi dan golongan? Afala Ta’qiluun???. Wallahu a’alam.


WRITTEN BY:
H. Saifannur, Lc
(Mahasiswa Aceh yang Sedang Melanjutkan Program S-2 Di Damascus University Syiria)

Related Posts by Categories

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Silahkan Anda Memberikan Komentar Mengenai tulisan saya pada Kotak Komentar di Bawah