RSS

11 Balon dan 1 Kartu

Aleppo, 17-5-2011, 10.15 WS.

B

erjalan siang yang pasti akan sangat melelahkan, meskipun bus ber-AC, tetapi hawa shaif begitu menyengat, perjalanan dari Aleppo ke Damascus akan memakan lebih kurang 5 jam, tidak ada yang bisa kulakukan selain menikmati pemandangan sebelah kanan jalan, bongkahan batu raksasa yang berjejer indah. 1 jam sudah perjalanan dari terminal Aleppo, sudah se-jam lalu keramahan kota itu melambaikan tangan kepadaku, kini aku menuju kota Damascus, yang penuh cinta dan cerita.
Setelah 2 jam kemudian, aku mulai melihat kota, aku tidak tahu pasti nama tempat itu, tetapi ada beberapa penumpang baru naik dan ada juga yang turun, termasuk seorang wanita yang duduk di sebelahku, maskipun sudah dua jam bersama, aku tidak berani mulai membuka pembicaraan dengannya, kelihatannya dia seorang mahasiswi di universitas Aleppo. Langsung saja tempat itu diambil oleh seorang bapak-bapak, kelihatannya dia berumur 50-an, dia memegang balon warna-warni, sambil senyum kepadaku dia duduk di sampingku, akupun membalas senyumnya sambil membenarkan posisi dudukku.

Setelah beberapa menit, aku memandangi wajah bapak itu, wajahnya memancarkan cahaya, tetapi garis-garis sudah menghiasi kulitnya. Melihatku memandanginya dia tersenyum, akupun jadi malu sendiri karena mencuri-curi pandangan. Diapun menegurku, dengan sapaan yang tidak asing lagi, dan sering kudengar meskipun aku sudah 4 tahun di sana.
“ma lak suri, ma hek?” ,katanya sambil tersenyum.
“eh, ma ni suri, ana indonesi” , kataku.
“Ngapain bapak beli balon banyak begitu?”,kataku meneruskan pembicaraan yang dia mulai.
“Owh, ini buat istri saya, sebagai tanda perdamaian, saya kalau lagi ada masalah dengan istri, pasti saya hadiahkan dia 11 balon dan 1 kartu minta maaf, itu tanda kita berdamai”. Kata bapak itu dengan senyum. Akupun tersenyum sambil mengangguk-angguk heran, kayak anak-anak saja ini orang tua.

“Kalau saya lagi marah tidak mau bicara, istri saya minta damai dengan mudah, cuma dengan membuat masakan kesukaan saya, saya langsung damai, tetapi kalau dia lagi marah, cuma ini satu-satunya cara…”, dia berhenti sambil tertawa ringan memandangi balon-balonnya yang manari-nari. Aku mengerutkan keningku, heran. Dia melanjutkan lagi,

“Saya harus pergi jauh, harus ke kota untuk membeli balon dan kartu ini”
“Owh…seru juga ya, pak...tapi kok balonnya lebih 11, pak?”, kataku sambil menunjuk ke balon itu.
“Ya, sengaja saya beli lebih, karena pasti ada saja yang meledak dalam perjalanan, biar saya nggak usah balik lagi kalau nanti kurang 11”.
“Hmmm…Kalau boleh tau pak, emang bapak berantem kenapa?maaf pak kalau terlalu jauh saya bertanya”, kataku sambil tersenyum bodoh, salah tingkah.
“Hehehe…biasa,nak..urusan dalam kamar”.
“Mhhmmm…..”, aku mengangukkan kepala, tidak mau tahu lebih jauh.
“Pernah begini…”, tambah bapak itu lagi, aku langsung melihat ke arah bapak itu, penasaran.
“Pernah sekali, istri saya protes karena saya tidur sebelah kanan dia, seharusnya saya tidur sebelah kiri dia, dia marah dan diam 3 hari, baru dia bicara setelah saya hadiahkan dia 11 balon dan 1 kartu minta maaf…”, kata dia sambil menggeleng-geleng kepala, tertawa, akupun ikut tertawa mendengar cerita konyol itu.

“Akhirnya saya sadar kenapa dia mau tidur di sebelah kanan, karena sebelah kanan arah kamar mandi, jadi setiap malam dia keluar ke kamar mandi tidak menggangu saya, tanpa harus melangkahi saya”.
“Lha, kok harus balon dan kartu, pak?”, tanyaku serius.
“Itu dia, nak…saya juga tidak tahu, pertama iseng saja saya beli itu, eh..tau-taunya istri saya suka, dan kita damai, jadi keterusan lah begitu”.
“Gitu ya, pak…lissa’ni ‘aazeb ana , belum tahu pak urusan-urusan sama wanita, gimana mereka marah, yang saya tahu dulu kata ibu saya jangan marah-marah sama wanita, tidak baik”.
“Wah…bagus itu, ibu kamu benar, wanita itu untuk disayang, bukan untuk dimarahi, karena itulah saya selalu mengalah pada istri saya..”.
Asik juga bercerita dengan orang tua, banyak dengar pengalaman mereka. Apapun itu, suatu hari kalau aku panjang umur pasti akan kulewati, karena sejarah kehidupan manusia dimana-mana sama saja, hanya pelakunya yang berbeda, mungkin benar kata orang “sejarah pasti akan berulang, hanya pelakunya yang berbeda”. Itulah bodohnya manusia, tidak pernah mau mengambil pelajaran dari pengalaman orang, kalau sejarah baik terulang lagi…most welcome, tapi kalau yang jelek diulangi lagi…aku diam melihat keluar, hanya tiang listrik dan kabel-kabel panjang yang tersenyum.
“Eh, pernah sekali gini, waktu istri saya pakai hena untuk mewarnai kukunya, saya ganggu, akhirnya henanya berhamburan,hahahhaha….bayangkan hena berhamburan…”, bapak itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang lucu, aku nggak paham.
“Henanya ada yang kena tangan, kuku, kemana-mana…akhirnya istri saya harus menyuci semua”, katanya sambil mengangguk-angguk kepalanya tersenyum.

“Terus, pak?”
“Terus, pas malamnya saya tidur, dia menempelkan hena di hidung saya, waktu bangun pagi…batang hidung saya merah semua…hahaaha…”, dia tertawa lagi,akupun ikut tertawa, kali ini mungkin lucu kalau aku bayangkan hidung bapak itu merah karena hena.
“Kamu tau? 1 minggu saya tidak bisa keluar rumah, saya malu, hidung saya merah, selama itu saya diam, tidak bicara kepada istri saya”.
“Wew…ngapain aja pak seminggu diem-dieman?”, kataku heran.
“Ya…paling bicara seperlunya saja, tapi saya tidak tega, apalagi setelah dia masak masakan kesukan saya, saya jadi rame lagi..hahahaha”, aku heran sama bapak itu, dari tadi ngakak terus.
“Dooor…”, aku terkejut, 1 balon meledak.
“Eh, tinggal 12 lagi, nak”.
“Ya pak”.
Bus yang aku naiki berhenti di pinggir danau ‘ashi, untuk istirahat dan makan siang, karena bus itu sudah dari tadi malam berangkat dari Ankara, Anatolia Turkey, dan aku naik di Aleppo, semua penumpang turun, termasuk bapak itu. ‘Ashi artinya melanggar, danau itu muara sungai ‘ashi, beberapa kilometer dari kota Homs, disebut ‘ashi karena dia menyalahi kebiasaan sungai-sungai lain, semua sungai di Syria mengalir ke arah selatan dan berbelok ke laut Tengah atau laut Mati, tetapi sungai ini malah mengalir ke utara, menuju Irak dan Turki. Danau yang indah, ada banyak resortnya.

Bapak itu turun duluan, rupanya kartu buat istrinya ketinggalan, aku segera turun, mencari bapak itu, tetapi tidak kelihatan, aku masuk restoran dimana penumpang busku masuk, tapi bapak itu tidak ada. Aku keluar, tiba-tiba pandanganku jatuh ke sebuah tempat, ada pintu gerbang lumayan besar. Aku kira bapak itu masuk kesana, ketika aku sampai di pintu itu, ternyata pintu pemakaman “Syuhada Perang Kemerdekaan”.

“Ngapain pula ini orang masuk ke kuburan?” pikirku, tapi aku tidak melihat bapak itu, aku beranikan diri masuk, ternyata dari kejauhan aku melihat balon tadi,aku dekati, ternyata bapak itu duduk disana, menangis meratapi kuburan di depannya.
“Apa kabarmu, habibti? Kamu masih marah? Aku janji tidak akan tidur lagi di tempatmu, aku selalu tidur di tempatku…ini aku bawa 11 balon seperti biasa,dan ini….”, dia meraba-raba kantongnya mencari kartu.
“Hilang sayang, jatuh…aku janji besok aku datang lagi, aku bawa dua, jangan marah lagi lah, jangan diam begitu…”

Aku meletakkan kartu beberapa langkah dari bapak itu, aku tidak mau menggaggu dia, kemudian aku pergi meninggalkan bapak itu menuju mushala restoran, sudah waktu salat duhur.
Setelah salat, aku duduk sebentar berzikir, tiba-tiba seorang anak muda menghampiriku, dia berpakaian rapi, sepertinya dia manajer restoran itu. Dia menceritakan tentang bapak tadi, ternyata itu adalah pemilik restoran, beberapa tahun lalu istrinya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Homs, tapi saat itu dia sedang di luar kota, akhirnya tidak sempat melihat istrinya, ketika dia tiba di rumah sakit istrinya sudah meninggal dunia. Sebenarnya istrinya meninggal bukan karena luka tebrakan, tetapi karena kanker di kepalanya, itu sebabnya setiap malam istrinya harus ke kamar mandi, karena darah selalu keluar dari hidungnya. Sejak itu dia selalu membeli 11 balon dan 1 kartu minta maaf, karena dia tidak tahu bahwa istrinya itu sakit, yang seharusnya dibawa ke rumah sakit.

Damascus, 17-5-2011, 15.30 WS.
Akhirnya aku tiba di Damascus, baru 2 hari aku meninggalkan kota itu, padahal belum keluar Syria, tapi rasanya kangen banget, aku tidak tahu bagaimana besok, beberapa bulan lagi aku harus meninggalkan kota itu, mungkin untuk selamanya…banyak cerita indah terukir di sana, banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tak mampu dilukiskan dengan tulisan, hanya bisa kusimpan dalam memori, mungkin suatu saat bisa jadi dongeng sebelum tidur.

Written By : H. Saief Alemdar, Lc

Related Posts by Categories

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Silahkan Anda Memberikan Komentar Mengenai tulisan saya pada Kotak Komentar di Bawah