RSS

Santri Menulis

M

engapa Santri Harus Menulis? Alasan dan motivasi bagi santri yang merasa malas untuk menulis. Dan sebab utama mengapa santri semestinya menjadi para penulis paling produktif di Indonesia.

Menulis dan menciptakan karya tulis merupakan salah satu tradisi yang kurang mendapat perhatian dalam dunia pendidikan Islam saat ini. Khususnya di lingkungan pesantren. Dalam segi karya tulis pesantren kalah jauh dengan dunia pendidikan non-pesantren seperti sekolah lanjutan dan perguruan tinggi. Baik secara kuantitas maupun kualitas. Semestinya, pesantren memiliki karya tulis yang jauh lebih banyak dan lebih berbobot dibanding non-pesantren. Karena, ketekunan dan jam belajar santri secara umum melebihi siswa biasa. Dan faktanya, kegiatan belajar mengajar (KBM) di pesantren jauh lebih banyak dibanding KBM di luar pesantren.

Jadi, di mana persoalannya? Ada beberapa, pertama, tak ada bimbingan tentang teori menulis. Kedua, tak ada motivasi dari pengasuh pesantren tentang perlunya santri memiliki karya tulis. Ketiga, metode penulisan dan ilmu yang terkait dengannya belum menjadi kurikulum pesantren. Keempat, tidak ada kewajiban menulis semacam skripsi sebagai syarat kelulusan bagi santri.

Ada beberapa tipe karya tulis yaitu (a) karya ilmiah dalam bentuk buku; (b) karya ilmiah dalam bentuk esai atau makalah yang biasanya dimuat dalam jurnal akademis atau sebagai tugas dari dosen di perguruan tinggi; (c) tulisan pendek dalam bentuk artikel opini, editorial (tajuk rencana), atau kolom di koran, majalah, tabloid dan buletin; (d) tulisan terjemah dari buku atau artikel asing; (e) karya sastra baik fiksi maupun non-fiksi seperti cerpen, novel dan puisi.

Panduan ini bertujuan sebagai pendidikan dasar tradisi menulis di Pondok Pesantren Al-Khoirot (PPA). Khususnya, sebagai pedoman awal bagi tim redaksi buletin yang diterbitkan PPA yaitu Buletin Alkhoirot, Buletin Santri, Buletin Siswa (ketiganya diterbitkan oleh santri putra) dan Buletin El-Ukhuwah yang diterbitkan oleh santri putri.

Tradisi menulis di PPA yang mulai berjalan sejak tahun 2007 melalui penerbitan sejumlah buletin di atas dan juga penerbitan buku harus terus dipupuk dan dipelihara. Sehingga tradisi “berbicara dengan pena” di kalangan santri PPA tidak lagi menjadi “barang mewah”. Sebaliknya, ia akan menjadi kebiasaan yang sama ringannya dengan saat ketika kita “bercerita dengan lisan.”

Mengapa tradisi menulis harus terus ditumbuhkembangkan menjadi kebiasaan para santri? Alasannya jelas: agar keilmuan, hikmah dan pengalaman yang kita miliki dapat dinikmati tidak hanya oleh murid atau santri yang mendengarkan bimbingan kita secara langsung, tapi juga siapa saja yang membaca tulisan kita. Baik di masa kita hidup, maupun puluhan atau bahkan ratusan tahun setelah kita telah meninggal dunia. Sekedar contoh, kita tidak mungkin dapat “berguru” pada Imam Al Ghazali (1058-1111 M) yang hidup 900 tahun yang lalu seandainya beliau tidak menulis Ihya Ulumiddin, Al Wajiz, Al Wasit, Al Basith, Tahafut al Falasifah dan puluhan karyanya yang lain yang sampai detik ini masih dapat kita baca dan nikmati isinya.

Benjamin Franklin (1706-1790) mengatakan, “If you would not be forgotten as soon as you are dead, either write something worth reading or do things worth writing.” (Apabila Anda tidak ingin mudah dilupakan setelah Anda meninggal dunia, tulislah sesuatu yang pantas untuk dibaca, atau berbuatlah sesuatu yang pantas untuk ditulis)

Related Posts by Categories

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Silahkan Anda Memberikan Komentar Mengenai tulisan saya pada Kotak Komentar di Bawah