Teungku Syamaun Risyad terpilih menjadi Ketua beberapa waktu lalu, namun hasil pemilihan menuai protes di kalangan santri, maka sidang pemilihan pun diulang lagi. Ternyata, hasilnya tetap sama saja. Teungku Syamaun Risyad tetap menjadi pemenangnya. Hasil pemilihan ulang ini merembes kepada para santri yang tengah menunggu di luar gedung. Kecewa mendengar hasil pemilihan ulang yang ternyata tetap mengusung nama Teungku Syamaun Risyad, membuat mereka kontan merangsek masuk gedung MPU dan mengobrak-abrik ruang sidang. Akibat perbuatan mereka yang anarkis itu, pintu ruang sidang rusak. Beberapa kaca jendela hancur dan benda-benda inventaris lain turut remuk.
Alasan tidak setujunya para santri atas terpilihnya Teungku Syamaun Risyad adalah karena paham wahabi yang selama ini dibawakan sang tengku. Sementara, kebanyakan umat di Lhokseumawe menganut paham ahlus sunnah. Aliran Wahabi yang berkembang di Arab Saudi selama abad 19 banyak mendasarkan pahamnya pada nilai-nilai fundamental dalam agama Islam. Pada masa Perang Paderi di Sumatera Barat, kaum wahabi inilah yang memperkenalkan surban, janggut, jubah putih dan celana cingkrang.
Menurut para santri, kosep ajaran yang jadi pembahasan Teungku Syamaun tentang khilafiyah, yang disampaikan dalam setiap pengajian, dinilai mereka sangat meresahkan warga Lhokseumawe. Namun, sang teungku yang tak diinginkan para santri yang melakukan aksi itu, terpilih secara demokratis untuk memimpin organisasi para ulama di kota tersebut.
Kita tentu tak berpretensi untuk memilih paham mana yang paling tepat atau tak hendak berpihak pada klaim ajaran baik atau tidak baik untuk dijalankan di Aceh. Namun, tindakan anarkis semacam dipertontonkan mereka di kantor MPU itu sudah pasti bukanlah hal yang patut dibanggakan. Apalagi, sengketa ini timbul karena jabatan di dalam suatu organisasi, yang agaknya terlalu kecil untuk dijadikan alasan menganiaya sesama atau merusak barang dan bangunan milik publik.
Banyak hal serupa terjadi, seperti juga yang kini tengah merebak di tanah Jawa. Ketidaksetujuan pada paham Ahmadiyah, telah mendorong penolakan, kerusuhan, dan berakhir pada teraniayanya salah pihak-pihak tertentu.
Bila pesan-pesan agama ditafsirkan sebagai panji-panji pembenaran terhadap kekerasan, sungguh menoreh kesadaran kita sebagai sebuah bangsa di negeri yang mengagungkan Allah yang sama. Khilafiyah, yang merupakan rahmat, lantas menjadi biang kerok segala keributan. Atas nama menjaga ketenangan warga, maka orang lain didesak agar tidak memiliki perbedaan.
Yang menjadi pusat perhatian di sini adalah sikap mereka yang tak memahami duduk perkara. Cap ‘anarkis’, ‘barbar’ dan ‘penyuka kekerasan’, jelas bukan cap yang kita inginkan, ketika kita bermaksud untuk beribadah. Namun, dengan sederetan perilaku rusuh seperti itu, tak ayal cap demikianlah yang akan dilekatkan pihak-pihak kepada kita. Apalagi, bila dalam melakukan tindak kekerasan tadi, dibawa juga lambang-lambang atau ikon yang dianggap sakral, seperti misalnya kafiyeh, atau baju koko. Seolah, hal itu dilakukan dalam rangka mewakili suara suatu kaum.
Negeri ini baru saja mendapatkan kedamaian kembali. Kita tengah berusaha menyembuhkan luka-luka yang tersisa. Sungguh, energi yang dikeluarkan untuk merusak kantor MPU, bila dicurahkan pada usaha membantu menyejahterakan umat, tentu akan lebih nampak hasilnya. Wallahualam.
Tweet |
0 comments: